Kemerdekaan Pers Itu Milik Masyarakat

HARI ini, 31 Mei 2012 menandai tiga tahun lahirnya Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi di Indonesia. Lembaga nirlaba yang keanggotaannya lintas profesi, lintas media, dan lintas organisasi jurnalis ini, berdiri di Makassar 31 Mei 2009.

Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspersi ini, merupakan anak kandung dari Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, yang dibentuk 203 jurnalis Makassar, dan didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel, dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel kala itu.

Pertengahan Tahun 2008, Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar,lahir saat melawan kampanye Kriminalisasi Pers yang dilakukan mantan Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Sisno Adiwinonoto. Sebagai organisasi yang lahir dari semangat perlawanan, lembaga ini, kemudian menjelma menjadi perkumpulan para jurnalis, dan aktivis yang peduli pada semangat kemerdekaan pers dan kebebasan bereskpresi.

Relawan-relawannya pun pada umumnya, adalah korban kekerasan, yang berasal dari para jurnalis, akademisi, aktivis dan para narasumber media yang pernah bermasalah dan sedang digugat secara hukum oleh penguasa akibat komentar-komentarnya di media massa, dan media social, seperti facebook, twitter.

Di usianya yang masih seumur jagung, Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi ini, sudah tersebar di sejumlah daerah, yang tugas utamanya memberikan perlindungan bagi para jurnalis yang sedang mengalami tindak kekerasan, serta serta mendampingi para tokoh-tokoh kritis yang selama ini sedang menyuarakan iklim kebebasan berbicara dan berpendapat. Peran utamanya jelas, memberikan jaminan tentang bagaimana berdemokrasi yang lebih sehat dan dinamis, di setiap daerah, terutama membangun sinergitas jurnalis dan masyarakat dalam memahami hak-hak sipil dan hak publik untuk mengetahui.

Menjaga Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Bereskpresi Indeks Kebebasan Pers Indonesia tahun 2011, sebagaimana dilansir Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia, sebagai negara yang kebebasan persnya dari tahun ke tahun mengalami kemunduran hebat.

Laporan RSF memperlihatkan kebebebasan pers Indonesia berada diranking ke 146 dari 179 negara. Untuk dibandingkan, pada 2010, Indonesia berada di ranking 117 dan di 2009 di ranking 100. "Proses hukum yang korup, mudah dipengaruhi politisi, kelompok penekan dan pemerintah yang berusaha mengontrol media dan internet telah menghambat perkembangan pers yang lebih bebas," jelas RFS dalam siaran pers yang disiarkan ke seluruh dunia pada , 25 Januari 2012 ini.

Dalam sebuah pertemuan Aktivis Hak Asasi Manusia se dunia, di Dublin Irlandia, September tahun 2011, Delegasi Indonesia, yang juga diikuti Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi melaporkan sejak reformasi bergulir, tercatat 12 jurnalis yang terbunuh.Dari kasus pembunuhan ini, hanya lima kematian yang terungkap. Dari lima kasus ini, hanya dua pelaku pembunuh jurnalis yang diadili. Satu yang dihukum penjara, satunya divonis bebas, meski akhirnya ditingkat kasasi dihukum, namun para pelakunya saat ini melarikan diri. Indonesia menjadi negara yang paling aman untuk membunuh jurnalis.

Berkaca, atas kondisi yang memprihatinkan ini, masyarakat perlu diingatkan bahwa sesungguhnya reformasi yang digembar-gemborkan sedang berjalan baik di Indonesia, tidak berbanding lurus dengan iklim kemerdekaan pers di tanah air.

Itu belum termasuk kasus-kasus kekerasan internal yang dihadapi jurnalis, seperti banyaknya regulasi yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi, kapitalisme dan oligarki media, serta rendahnya tingkat kesejahteraan jurnalis di perusahaan media. Demokrasi di Indonesia, seperti sebuah kamuflase. Indah di atas kertas, tapi buruk dalam implementasinya.

Dan fakta ini harus dikabarkan sampai ke ruang-ruang keluarga masyarakat Indonesia. Disinilah diperlukan keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan merawat semangat kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi itu, sebagai bagian dari roh dan semangat reformasi, dan demokrasi itu sendiri. Kemerdekaan Pers, sebagaimana yang diatur dalam UU Pers No 40/1999, bukanlah milik para jurnalis semata.

Kemerdekaan pers hakekatnya merupakan milik masyarakat, yang dipinjamkan kepada jurnalis, untuk selanjutnya dijaga untuk melindungi kepentingan publik. Karenanya, jika ada pihak yang mengancam, bahkan merampas kemerdekaan pers, maka sesungguhnya yang terancam adalah kebebasan dan kemerdekaan publik itu sendiri.Jika kemerdekaan masyarakat terancam, maka itu berarti mengancam demokrasi.

Peran menjaga kemerdekaan pers itu, menjadi tugas dan tangggungjawab bersama semua pihak.Bukan hanya masyarakat media sendiri.

Oleh sebab itu, masyakarat perlu diberikan pemahaman dan diikutsertakan, bahwa melindungi jurnalis dan media, hakekatnya sebuah perlindungan terhadap masyarakat itu sendiri.

Sengketa Kata-Kata 

Lalu bagaimana dengan kebebasan bereskpresi? Kebebasan berekspresi di tanah air juga setali tiga uang dengan kemerdekaan persnya. Kasus Prita Mulyasari dan Ko Seng Seng misalnya, menjadi contoh buruk, betapa hukum di negara ini sangat tidak berpihak kepada kebebasan berbicara dan berpendapat.

Nasib buruk yang dialami Ko Seng Seng , Penulis Surat Pembaca di Harian Kompas, bahkan harus menerima kenyataan pahit divonis bersalah. Di Sulawesi Selatan sendiri, di bulan Mei 2012, tercatat Nurdin Halim anggota DPRD Kabupaten Bantaeng digugat kasus pencemaran nama baik oleh orang dekat Bupati Bantaeng, akibat perkataannya yang dianggap menghina bupati. Kasus serupa pernah terjadi 2010 lalu, dimana seorang anggota DPRD Parepare Rahman Saleh diseret ke meja hijau oleh

Kapolres Parepare saat itu lantaran komentarnya di media massa yang mengeritik kebijakan polisi. Kita berharap nasib Nurdin tidak seburuk kasus Rahman Saleh di Parepare. Yang mana seorang anggota dewan yang terhormat yang digaji untuk berbicara kritis harus dibawa ke meja hijau karena tugasnya berbicara. Pesan dalam rentetan peristiwa ini, adalah masyarakat di Indonesia, terutama para penguasa, pengusaha dan aparat negara, termasuk di daerah Sulawesi Selatan, sebagian belum bisa menerima perbedaan pendapat, anti kritik dan tentu saja masih menggunakan pola pikir kolonial dalam menghadapi perbedaan.

Cara memberangus kemerdekaan pers dan kebebasan bereskpresi dengan aksi-aksi kekerasan dan ancaman gugatan hukum pidana dan perdata adalah tindakan yang dikategorikan sebagai gerakan yang kontraproduktif dengan demokrasi.

Oleh sebab itu menggunakan momentum hari jadi Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi, yang jatuh pada hari ini, kita berharap, semua pihak ikut menjaga semangat Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Bereskpresi, dengan cara menggunakan cara-cara demokratis dalam menyelesaikan sengketa pers dan perbedaan pendapat. Cara itu adalah pembiasaan menempuh jalur demokratis.

Artinya Jika tidak puas dengan pemberitaan gunakanlah mekanisme penyelesaian sengketa pers, yaitu dengan cara menggunakan Hak Koreksi, Hak Jawab dan melapor ke Dewan Pers. Bukan dengan cara kekerasan dan ancaman gugatan hukum. Dalam hal ini berlaku adagium yang sangat demokratis, sengketa kata-kata itu hendaknya dijawab kata-kata. fakta dijawab fakta, teks dengan teks, opini ditanggap opini.

Selamat hari jadi para Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi. Tetaplah mengabdi di garda terdepan

(***) tulisan ini merupakan refleksi 3 tahun berdirinya relawan komite perlindungan jurnalis dan kebebasan berekspresi 31 Mei 2012. Tulisan ini juga dimuat di Opini Harian Tribun Timur 31 Mei 2012.

Komentar

Postingan Populer