MEMAKNAI HIDUP

...Tidak penting sudah berapa lama hidup kita lalui,yang penting adalah bagaimana kita memaknai hidup...

Yah,hidup itu memang harus diberi makna. Tahun 2008 nanti, merupakan tahun ke 15 saya berada di jalur jurnalis. Banyak suka duka bekerja di dunia yang satu ini. Mengawali karier sebagai reporter magang di Tabloid Umum Gema 1993. Beberapa bulan kemudian, di tahun yang sama,sebagai mahasiswa jurnalistik Universitas Hasanuddin Makassar, saya kemudian bergabung di Penerbitan Kampus Identitas Unhas.

Di identitas saya melalui semua proses konvensional sebuah tradisi berjurnalis.Mulanya saya dididik sebagai calon reporter magang, reporter magang, reporter, asisten redaktur, redaktur, redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi. Di Identitas inilah,saya banyak belajar tentang bagaimana menjadi jurnalis. Dan yang paling pokok menemukan roh ideologi jurnalis. Boleh dikata, identitas itu mengajariku bagaimana menjadi jurnalis yang baik dan benar.titik!

Prinsip Dasar Berjurnalis inilah yang kerap membawa saya berhadap-hadapan dengan sebuah pilihan sulit,yang kadang oleh sebagian senior saya,seperti Aidir Amin Daud,dianggap tindakan bunuh diri.

Tapi toh “pelajaran mahal” itu tidak seperti yang dikhuatirkan banyak sahabat dan senior Terbukti,meski saya kerap gonta-ganti media, 1994-1996 TPI, 1996-1997 Harian Fajar, Majalah Warta, 1996-1998 SCTV,1998-2000 The Jakarta Post, Tabloid GOLO, 2001-2003, TV7, 2003-2004 GLOBALTV, 2005- sekarang METROTV, saya tetap bisa menjalani hidup profesional secara jujur.

Ya,menjalani profesionalitas secara jujur. Paling tidak, bisa menjawab sebuah sintesa, bahwa menjadi jurnalis yang baik dan benar di masa-masa sulit saat ini,adalah sebuah kemustahilan atau keniscayaan. Toh semuanya sudah terjawab.Dan itu bukanlah “bunuh diri”.

Masa-masa sulit membangun paradigma, bahwa jurnalis itu bisa hidup dalam kejujuran dan integritas,sepertinya menjadi sebuah virus yang harus disebarkan. Setiap hari kampanye menjadi jurnalis yang baik dan benar pun ditularkan dimana-mana. Dari kampus ke kampus, virus-virus itu dikabarkan.

Sejak 1996, bersamaan dengan bergabungnya di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar,gerakan menjadi jurnalis yang berdedikasi di tengah mahalnya harga kebutuhan pokok menjadi pekerjaan kedua setelah liputan .Penyebaran virus ini pun diformalkan di lembaga-lembaga akademik. Maka tercatatlah, banyak jurnalis-jurnalis yang tersebar di sejumlah media,adalah mantan penikmat virus-virus pencerahan ini. Usaha ini, secara terus menerus dibangun.Sampai disini, aura itu sangat membahagiakan.

Tapi usaha itu, kini nyaris menjadi sirna,ketika sebuah antivirus bernama Pragmatisme ditularkan ke sejumlah jurnalis-jurnalis muda. Anak-anak yang saban hari menjadi pejuang,kini dengan mudah dipatahkan oleh budaya permisif akan pelanggaran kode etik yang sesungguhnya sangat tabu untuk dikerjakan.

Jurnalis-jurnalis muda saat ini,entah sadar atau tidak sebagian di antaranya telah dikondisikan secara sistematis,untuk belajar menerima amplop,belajar mengadopsi praktek ilegal pelanggaran kode etik,dan tentu saja membuat dosa profesional.

Dan kali ini,untuk sebuah alasan yang jelas saya kembali melakukan tindakan “bunuh diri”. Alasannya sederhana: ingin memaknai hidup.Meminjam kata Khairil Anwar, Sekali Berarti Sesudah Itu Mati...

***

SELAMA rentang waktu 15 tahun ini, sudah terlalu banyak pelajaran yang kita ambil hikmahnya.Terutama bagaimana memaknai hidup professional menjadi lebih bermakna. Banyak perusahaan media dan teman-teman saya dari berbagai media,tempat dimana saya pernah bekerja dan berinteraksi memberi inspirasi. Inspirasi yang tentu saja,kadang membuat kita harus berpisah karena perbedaan ideologi

Dan di tahun ini, saya kembali dihadapkan pada pilihan hidup,yang mungkin sangat tidak popular di kalangan sahabat-sahabat saya sendiri. Bahkan banyak diantara sahabat-sahabat itu,yang menjadi idola, guru, kakak dan teman serta tempat berteduh di kala susah kini telah berseberangan dengan saya secara ideologi.

Dan sebagaimana dengan perpisahan itu sendiri, akan banyak kenangan indah,yang akan selalu dikenang bersama. Meski tidak gampang meninggalkan jejak-jejak bersama. Tapi seperti sebuah pilihan. Kadang kala pilihan perubahan itu punya resiko.Meski perubahan itu sendiri, harus memangsa diri kita sendiri. Toh, saatnya melawan siapa saja yang telah mematikan idealisme.

Mengutip Filsouf Jerman, Arthur Schopenhauer 1788-1860: semua kebenaran selalu melalui tiga tahapan. Pertama dicerca, kedua Ditentang dengan keras, dan ketiga akhirnya diterima sebagai kebenaran….. Semoga!


Refleksi atas banyaknya pertanyaan tentang Demo Monolog PDAM Gate
23/12/2007

Komentar

Postingan Populer