SAATNYA MELINDUNGI JURNALIS

Saatnya Melindungi Jurnalis
Oleh: Upi Asmaradhana (Koordinator Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi)


Rabu dini hari 6 Oktober, kantor harian Radar Bulukumba di Jl Mukhtar Lutfi No 2 Bulukumba, terbakar. Koran yang kerap jadi sasaran kekerasan ini, diduga sengaja dibakar, setelah sebelumnya sempat diancam oleh penelepon gelap.

Sebelumnya, Senin 4 Oktober 2010, tindak kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi. Kawan jurnalis kontributor Trans7, Ahmad Yahya, yang bertugas di Bone Sulawesi Selatan, menerima perlakuan kasar dari anggota Korem 141/Toddopuli, Serka Sumarlin. Akibat perlakuan itu, Yahya mengalami luka dan penghinaan terhadap profesinya. Selain dilaras, kameranya juga dirampas.

Satu pekan, dua peristiwa kekerasan terhadap jurnalis dan media terjadi di Sulawesi Selatan. Ini bukan rekor tersendiri bagi index kebebasan pers di daerah ini. Dalam catatan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi, Sulawesi Selatan dua tahun terakhir termasuk daerah paling rawan bagi para jurnalis di Indonesia.

Dua peristiwa ini menambah catatan kelam atas ancaman kekerasan pers di Sulsel. Sebelumnya, 28 Agustus 2010 Kapolres Bulukumba AKBP Arief Rahman Hakim, mengancam para wartawan akan memutus hubungan dengan polisi jika tetap ngotot memberitakan aksi protes anggota Polres Bantaeng dan Bulukumba di Mapolres Bulukumba terkait honor pengamanan Pemilukada di Bulukumba. Jurnalis di sana meradang, dan berdemo.

31 Agustus 2010, Mayzir Yulanwar, Pemimpin Redaksi Majalah Versinet diserang dan dipukuli saat bertanya di sebuah ruang diskusi di ruang redaksi harian FAJAR Makassar. Ia diserang para pendukung Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin saat mengkiritik kebijakan revitalisasi lapangan Karebosi.

8 Juni 2010, Wakil Ketua DPRD Toraja Utara, Paulus Tangke mengancam wartawan karena tidak bisa menerima dirinya dikorankan terkait desakan Pemkab Tana Toraja yang menginginkan mobil dinas dikembalikan kepada negara.

Paulus Tangke selain memaki wartawan, juga mengancam akan melakukan penganiayaan kepada wartawan Berita Kota Makassar, dan mengusirnya ke luar dari Kabupaten Toraja Utara. Aksi ini terjadi di ruang sekretariat DPRD Toraja Utara.

Di Takalar, 25 Mei 2010, Amrullah Basri, koresponden harian FAJAR mendapat perlakuan kasar dan ancaman akan dibunuh dari seorang oknum anggota Satuan Polisi Pamong Praja setempat yang diduga didalangi Natsir Ibrahim, ketua DPD Partai Golkar Takalar yang juga anak pertama Bupati Takalar Muhammad Ibrahim Rewa.

Kejadian ini akibat korban menulis berita terkait aksi unjuk rasa mahasiswa Takalar yang menuntut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mengaudit kekayaan bupati Takalar.

Di Bantaeng, 6 Januari 2010 sejumlah SKPD di daerah tersebut, bermaksud melaporkan jurnalis FAJAR Mahatir Mahbub lantaran beritanya yang berjudul: SKPD seperti “Pelacur” Anggaran. Namun itu urung dilakukan dan hanya melaporkan narasumber koran tersebut saja.

Tahun sebelumnya, tepatnya 2009, kekerasan juga terjadi. Pada 5 November 2009, Baharuddin, juga jurnalis Sindo, dipukuli di kantor BKD Bulukumba saat liputan aksi unjuk rasa guru honorer di kantor tersebut. Pelaku adalah orang dekat pejabat setempat. Bahar mengalami luka serius di hidungnya. Pelaku sempat ditahan dan divonis bersalah dengan hukuman percobaan.

29 November 2009, kantor Radar Bulukumba dilempari batu. Kaca jendela anak perusahaan FAJAR Group ini pecah berantakan. Diduga pelaku menggunakan kendaraan bermotor setelah sehari sebelumnya, Radar memuat berita kontrol soal korupsi 16 Desember 2009, Bupati Bulukumba Sukri Sappewali mengusir sejumlah jurnalis saat meliput di Gedung DPRD Bulukumba. Para jurnalis mendapat perlakuan pengusiran lantaran saat Bupati berpidato, jurnalis bertanya kepada Kepala Humas Kabupaten Bulukumba.

Yang paling menghebohkan adalah peristiwa kekerasan 30 Juli 2008. Muhammad Jusuf, jurnalis Sindo dipukul oleh Lurah Loka Andi Baso Bintang saat liputan pembagian beras miskin di kantor kelurahan setempat. Pelaku ditahan, namun M Jusuf cacat seumur hidup dan saat ini memilih berhenti menjadi jurnalis lantaran trauma.

Itu kekerasan yang terungkap di media. Banyak kasus sebenarnya yang tidak dilaporkan, karena banyak pertimbangan. Selain takut dan malu, juga karena tekanan dan lobi para pelaku ke news room media massa. Baik melalui petinggi media, kolega bisnis, hingga pelaku-pelaku iklan dan modal.

Kekerasan tidak hanya terjadi di skala lokal, di pentas nasional kekerasan terhadap jurnalis juga terus berlangsung. Diawali dengan kematian misterius Kepala Biro Kompas Kalimantan di Balikpapan Muhammad Syaifullah 26 Juli 2010. Syaifullah meninggal mendadak. Sebelumnya, ia terkenal getol mengkritik pembalakan liar di Kalimantan.

Tiga hari kemudian, 29 Juli, Ardiansyah Matrais, wartawan TV lokal Merauke, Papua, ditemukan tewas di Sungai Maro pada 29 Juli 2010, setelah dilaporkan hilang oleh keluarganya. Ardiansyah ditemukan tewas, setelah sebelumnya, para jurnalis mendapat teror dari beberapa orang tak dikenal.

Di Maluku Tenggara, 21 Agustus 2010 Ridwan Salamun kontributor Suntv, tewas mengenaskan saat meliput bentrokan. Ridwan tewas dengan bersimbah darah, setelah sebelumnya ia sempat tergeletak di tengah jalan selama hampir dua jam, tanpa pertolongan.

Terakhir, 17 September 2010 wartawan Sriwijaya Post Arsep Pajario, ditemukan tewas di rumahnya di Jl S Suparman, Kompleks Citra Dago, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami, Palembang. Ia diduga kuat dibunuh oleh rekannya sendiri.

Jadi Pelajaran

Dalam catatan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Bereskpresi, di Sulsel, sepanjang tahun 2010, tercatat 11 kasus ancaman kekerasan. Dari 11 kasus ini, tujuh di antaranya dilaporkan dan empat sisanya didiamkan oleh korban.

Itu belum termasuk laporan warga sipil yang dilaporkan ke polisi lantaran komentarnya di media massa. Kasus paling mutakhir adalah gugatan Kapolres Parepare kepada anggota DPRD Parepare Rahman Saleh karena komentarnya di harian Parepos, dan gugatan Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah ke polisi, terkait kritikan seorang ustaz bernama Muhammad Ridwan di daerah tersebut.

Dari sekian banyak fenomena tindak kekerasan pada jurnalis, umumnya disebabkan tiga hal. Pertama faktor pemberitaan, ini dipicu oleh rendahnya pemahaman masyarakat akan fungsi dan tugas jurnalis dan media sebagaimana diatur oleh UU Pers No 40/1999.

Masyarakat cenderung tidak menggunakan mekanisme UU Pers jika mereka merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa. Main hakim sendiri bahkan tak segan-segan melapor ke polisi atau menggerakkan massa.

Faktor kedua, rendahnya kompetensi sumber daya jurnalis itu sendiri. Harus diakui banyak jurnalis yang bekerja tanpa membekali dirinya keterampilan dan juga prosedur peliputan yang baik. Bahkan beberapa korban kekerasan justru tidak menggunakan identitas diri dari kantor redaksi saat meliput karena status mereka yang hanya sebagai tenaga jurnalis lepas saja. Pada kasus-kasus tertentu, jurnalis elektronik seperti televisi, justru meliput hanya dengan modal kamera handycame yang sulit dibedakan dengan petugas intelijen.

Hal lainnya, para jurnalis kurang dan bahkan tidak memiliki pemahaman terhadap Kode Etik Jurnalistik, Standar Pedoman Perilaku Penyiaran dan sebagainya, yang merupakan syarat teknis dasar bagi kerja jurnalisme.

Ketiga, kurangnya perlindungan dari pihak terkait terhadap kerja-kerja jurnalis. Mulai dari tempat jurnalis bekerja, organisasi profesi, aparat negara, organisasi massa dan organisasi politik hingga organisasi kepemudaan.

Ini dipicu lantaran tidak adanya kepedulian industri media massa itu sendiri dan lembaga di luar eksternal media massa. Penyebabnya, industri media kerap menjadikan jurnalisnya tak lebih dari sekadar buruh harian saja.

Sementara faktor eksternal disebabkan oleh banyaknya para tokoh formal dan informal yang alergi bahkan anti kritik. Mereka menilai sikap kritis media tak ubahnya musuh yang harus dilawan atau bahkan dilenyapkan.

Risiko Vs Antisipasi

Aidan White, Sekretaris Jenderal International Federations of Jounalists seperti dikutip dalam Panduan Bertahan Hidup Bagi Jurnalis, mengatakan, perang dan kekerasan jarang menjawab permasalahan apapun. Tapi ketika itu terjadi, jurnalis dan media memiliki satu peran krusial dalam memangkas kabut kecurangan, kebohongan dan manipulasi informasi yang tidak dapat dihindari mengikutinya.

Tugas mereka ialah menunjukkan pengaruh perang bagi kehidupan orang-orang biasa. Saat mengambil peran ini, para jurnalis menempatkan kehidpuan dan keselamatan mereka ke dalam sebuah risiko.
White benar. Tugas jurnalis itu mengundang dan mengandung risiko. Paling fatal adalah kematian.

Namun bukan berarti kita harus membiarkan satu persatu jurnalis harus diancam, diperlakukan kasar bahkan mati berkalang tanah. Soal mati dalam tugas itu lain soal. Tapi bagaimana melindungi jurnalis, itu juga perkara lain.

Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi yang beranggotakan relawan-relawan dari berbagai organisasi profesi jurnalis, lintas media serta para praktisi hukum, aparat dan tenaga medis, bermaksud menawarkan tentang konsep perlindungan jurnalis dalam wilayah damai dan wilayah kekerasan. Sistem antisipasi kekerasan ini, selain menyelamatkan proses kerja jurnalisme dalam menciptakan perdamaian, bisa menyelamatkan para jurnalis dari kekerasan.

Setidaknya ada tiga level sistem antisipasi kerja jurnalisme dari kekerasan. Sistem antisipasi dini ini diharapkan akan berlaku bagi semua kondisi berdasarkan tiga tesis yang saya kemukakan sebelumnya.

Pertama berkaitan dengan kompetensi yang terkait dengan kapasitas ilmu dan keterampilan teknis jurnalis dalam menganalisis dan menghadapi situasi konflik. Harus diakui banyak jurnalis belum mendapatkan penguatan kapasitas berkaitan dengan analisis situasi konflik dan keterampilan menghadapinya.

Komite berharap media massa, organisasi profesi dan pihak-pihak terkait sesegera mungkin melakukan pendidikan dan pelatihan dasar tentang strategi dan taktik bertahan hidup jurnalis. Ini bisa disiasati dengan kesadaran bersama, tentang betapa penting melindungi para jurnalis.

Sistem antisipasi dini kedua adalalah pada penguatan kelembagaan hukum yang dilindungi oleh negara dan aparatur negara. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 ayat (3) dan juga Pasal 18 menyebutkan, jurnalis mempunyai hak untuk mencari dan menyebarluaskan berita, dan jika hak tersebut dihalang-halangi, pelaku yang menghalangi dapat dikenai ancaman pidana dua tahun atau denda Rp 500 juta. Interpretasi terhadap menghalangi pada pasal UU Pers tersebut bisa meliputi aktivitas kekerasan yang ditujukan kepada jurnalis.

Penguatan ini tentu harus didukung sepenuhnya oleh pemilik kekuasan dan kebijakan. Peranan gubernur, wali kota, bahkan bupati untuk mengingatkan aparatur negara menjadi penting agar pejabat publik menghormati tugas-tugas jurnalis dan media.

Dan lebih khusus lagi memberikan perlindungan. Peranan ini harus diback up oleh aparat penegak hukum tentunya. Penerapan UU Pers dalam setiap perkara pers semestinya menjadi acuan polisi, jaksa dan para hakim.

Sistem antisipasi dini ketiga adalah peningkatan kesejahteraan jurnalis. Media atau industri media perlu memberikan jaminan gaji, tunjangan dan juga hak-hak normatif para pekerja, serta jaminan kesehatan dan pengobatan bagi para jurnalis. Pimpinan media harus secara terus-menerus membangun penguatan dan jaminan kesejahteraan para pekerjanya secara baik.

Sistem antisipasi dini tiga hal ini harus saling melengkapi secara sistematis. Tidak berfungsinya salah satu lapis dari sistem ini, maka akan sangat mustahil menjadikan para pekerja jurnalis dan media bebas dari segala hal yang mengancam keselamatan dan jiwa mereka. Tentu kita tidak ingin ada lagi kasus seperti yang dialami Yahya Maulana, Radar Bulukumba hingga kasus gugurnya Ridwan Salamun itu. (*)

(opini ini dikutip dari rubrik opini harian Fajar edisi jumat 8 oktober 2010)

Komentar

Postingan Populer