Doktor Hasrullah

Terbakar atau Dibakar?

AWAL pekan lalu, 6 Maret 2010, publik Makassar dikejutkan dengan berita terbakarnya rumah pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Doktor Hasrullah MA. Sayang pemberitaan terbakarnya rumah tokoh kritis ini, tidak terekspose dengan baik. Satu dua media memang memuatnya, namun menempatkannya di halaman dalam dengan kolom yang terbatas.Maklum, saat bersamaan terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran di Makassar yang berakhir bentrok dengan aparat kepolisian.

Berita bentrokan mengalahkan isu kasus Bank Century,apalagi kasus terbakarnya rumah mantan sekertaris Rektor Unhas Hasrullah.Dari segi teori media, kasus ini bisa diterima secara akal sehat. Nilai berita terbakarnya rumah Hasrullah masih kalah “seksi” dengan berita bentrokan HMI versus polisi.

Banyak pihak yang mencurigai, terbakarnya rumah Hasrullah adalah sebuah teror baru bagi para aktivis di kota ini.Itu jika benar,kalau rumahnya dibakar. Semua orang mafhum siapa Hasrullah. Dia adalah salah seorang akademisi, yang terkenal kritis menyikapi berbagai persoalan di daerah ini. Hasrullah termasuk salah seorang pakar yang sampai saat ini cenderung tidak masuk dalam arus mainstream keinginan-keinginan penguasa.Baik penguasa lokal maupun nasional.Ia bahkan dengan sangat berani mengeritik pejabat yang jelas-jelas “marah” padanya.

Tulisan ini tidak dalam konteks, menuduh, atau mengadili bahwa rumah Hasrullah dibakar. Sebab, sampai saat ini polisi masih melakukan penyelidikan atas terbakarnya rumah Hasrullah di Kompleks Dosen Unhas Tamalanrea ini.Tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Sulselbar sejak 8 Maret telah melakukan pemeriksaan terhadap sisa-sisa kebakaran rumah tersebut. Kita berharap, pihak kepolisian bisa mengungkap penyebab terbakarnya rumah tersebut untuk menepis keragu-raguan publik.

Terlepas apakah rumah Hasrullah dibakar atau memang murni kecelakaan, satu poin penting yang mesti dicatat oleh publik, khususnya para jurnalis, bahwa insiden terbakarnya rumah tokoh kritis bisa menjadi ancaman serius bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers di daerah ini.

Sebab, manakalah benar ada motif lain dari terbakarnya rumah itu, maka para narasumber kritis akan semakin sulit kita temukan. Narasumber akan berpikir ekstra berani untuk melakukan kritiknya. Itu jika rumah Hasrullah benar-benar dibakar.
Disisi lain, media mesti menjaga narasumber kritisnya,seperti sosok seorang Hasrullah.Di tengah hegemoni sumber informasi yang terlihat homogen saat ini di Sulawesi Selatan.Setidaknya, mengawal proses penyelidikan kasus ini.

Kasus ini, mestinya mendapat porsi lebih,malah kalau perlu mendapat perhatian khusus.Membiarkan Hasrullah sendirian meratapi musibah, atau sebutlah terror yang dialaminya,sebagai bentuk ketidakpedulian publik, atau media terhadap narasumbernya yang selama ini telah menjadi sumber kritis. Bagaimanapun merelakan kesenangan-kesenangan personalnya untuk membela apa yang diyakini benar.Hasrullah selama ini, telah mengambil alih fungsi media itu sendiri sebagai alat kontrol dan penyeimbang.

Kita tentu tidak ingin,Hasrullah sendirian.Dan salah satu cara bagaimana media memberikan perhatian atas kasus ini adalah dengan mengawal kasus ini hingga menjadi terang benderang.Bukan dengan membiarkan kasus ini hilang,senyap seperti kasus-kasus lainnya. Saat ini kita menunggu hasil labfor Polda Sulselbar. Publik sangat akan antusias menunggu. (***)

12 maret 2010.

Komentar

Postingan Populer