PLEDOI:MENGABDI KEPADA PUBLIK

Pledoi ini,telah dibacakan dalam Sidang ke-25 Kasus Pencemaran Nama Baik Irjen Pol Sisno Adiwinoto terkait kasus kriminalisasi pers, Selasa 4 Agustus 2009, pukul 12.05-14.10 Wita di PN Makassar. Berikut selengkapnya:

Pledooi :
Mengabdi Kepada Publik
(nota pembelaan koordinator koalisi jurnalis tolak kriminalisasi pers Makassar)
No Reg Perkara: PDM-178/MKS/Ep.1/02/2009
Tanggal 02 februari 2009

Oleh: upi asmaradhana

Majelis Hakim Yang Mulia
Jaksa Penuntut Umum
Para Penasehat Hukum
Kawan-kawan Jurnalis,
Akitfis NGO,Para Dosen
Rekan-rekan Mahasiswa
dan Hadirin sekalian:

Bismillahi Rahmanir Rahim
Assalamu Alaikum Wr WB.

Salam Kebebasan Pers
Salam Kebebasan Berekspresi

Sumpah Jurnalis Indonesia

Kami Jurnalis Indonesi Bersumpah:

Satu:
Kami Jurnalis Indonesia Mengaku Berbahasa Satu
Bahasa Fakta dan Kebenaran

Dua :
Kami Jurnalis Indonesia Mengaku Bertanah Air Satu
Tanah Air Tanpa Penindasan dan Ketidakadilan

Tiga:
Kami Jurnalis Indonesia Mengaku Berbangsa Satu
Bangsa yang menunjunjung tinggi nilai kemanusaian dan moralitas

Mukaddimah

Pena jurnalis adalah mata hati demokrasi.Karena itu, para jurnalis tidak boleh takut dalam menjalankan aktivitasnya. Bayang ketakutan hanya akan menumpulkan ketajaman pena mereka.


Perlawanan Jurnalis Makassar, yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar, adalah gerakan moral yang ditujukan untuk melindungi kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Gerakan ini adalah salah satu upaya membangun kesadaran ideologi, tentang hakekat bagaimana jurnalis mengabdi kepada publiknya secara total, dengan melindungi pers,media, dan masyarakat.

Kenapa kebebasan pers harus dilindungi, karena Kebebasan Pers sesungguhnya adalah hak masyarakat yang dipinjamkan dan diamanahkan kepada pers agar bisa melakukan kegiatan jurnalistik, untuk memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi

Lalu mengapa kemerdekaan pers itu perlu diperjuangkan? Tujuannya sederhana, agar masyarakat bisa memperoleh informasi secara akurat, jujur dan berimbang. Masyarakat berhak memperoleh informasi yang terpercaya.

Pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik adalah perpanjangan tangan masyarakat dan karena itu bertanggungjawab kepada masyarakat.

Dalam demokrasi, kebebasan pers itu, adalah hak sekaligus kewajiban yang harus diperjuangkan oleh semua kalangan, terutama kalangan jurnalis itu sendiri.

Kebebasan menyampaikan informasi dilindungi secara universal dan diakui negara. Pasal 19 Piagam PBB, tentang hak asasi manusia. Konstitusi UUD 45 Pasal 28 F Amandemen Kedua, dan UU Pers No 40/1999, pada Diktum Menimbang (a) dan (b) Pasal 4 ayat 1, Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara. Pasal 6 Huruf (a-e), dan dalam melaksanakan kewajibannya,dilindungi hukum.Pasal 8 dan 18 UU Pers.

Dalam Pembukaan Kode Etik Jurnalistik, Kemerdekaan Berpendapat, Berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia, yang dilindungi. Kemerdekaan Pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Jadi kami sangat terpukul dan terkejut, karena perjuangan menegakkan kebebasan dan kemerdekaan pers, ternyata dipersalahkan?

Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers selama ini, bertujuan membela kepentingan kebebasan pers dan kepentingan publik. Bukan BERTUJUAN untuk MENCEMANARKAN NAMA BAIK PENGUASA, dalam hal ini Irjen Pol Sisno Adiwinoto seperti yang dituntutkan Jaksa Penuntut Umum.

Yang ingin kami jelaskan ke hadapan Majelis Hakim yang mulia adalah, tuntutan Sisno yang kemudian dijustifikasi Jaksa Penuntut Umum, menjadi persoalan krusial bagi demokrasi,karena tuntutan itu mengancam sendi-sendiri demokrasi.Sehingga hal ini mendorong kami, untuk melawan dan membela diri mengatakan kebenaran itu.

Ajaran agama Islam menganjurkan, katakanlah kebenaran itu, meskipun pahit. Dan masih terngiang pesan orang tua kami: Sebaik-baik manusia, adalah mereka yang berusaha membela kepentingan orang banyak, meskipun kamu harus merelakan kepentiganmu sendiri. Dan sebaik-baik manusia adalah mereka yang mengabdikan hidupnya untuk kebaikan orang banyak.

Majelis Hakim Yang Mulia
Kami sudah beri semua yang kami miliki, buat profesi kami, dan masyarakat luas pada umumnya.

Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan tuntutan pada persidangan ke-23 lalu, atas nama negara, mewakili penguasa yang dirugikan nama baiknya, dalam hal ini Irjen Pol Sisno Adiwinoto.

Tuntutan itu kami nilai, tidak melihat persoalan secara jernih, komprehensif dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat.

Menuntut seseorang mestinya bukan atas dasar “pesanan”. Tapi sebaiknya atas dasar kebenaran nurani . Bukan atas dasar sinyalemen,keinginan penguasa atau pejabat yang punya pangkat dan kedudukan, apalagi hanya untuk memuaskan syahwat amarah memenjarakan seseorang. Ruang peradilan bukanlah sebuah “mesin” hukum, dimana terdakwa harus dihukum berdasarkan keinginan amarah. Jika ini yang terjadi, maka Jaksa Penuntut Umum tak ubahnya mesin pembunuh yang tidak memperhatikan sisi kebenaran yang sesungguhnya.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum terkesan dipaksakan, bahkan menihilkan kebenaran materil hukum yang berpatokan pada proses, prosedur, yang mestinya menggali sebab musabab sebuah perkara.

Majelis Hakim Yang Mulia

Demontrasi yang disusul pengaduan ke Dewan Pers, Komisi Kepolisian, bukanlah sebuah kasus yang berdiri sendiri. Pengaduan ini lahir dari sebuah proses yang panjang.

Demonstrasi, menurut hemat kami, adalah salah satu saluran demokrasi. Dengan menyampaikan aspirasi, itu berarti menjalankan hak dasar kebebasan itu sendiri. Kami tidak merusak. Kami mengirimkan surat pemberitahuan kepada polisi terlebih dahulu, dan unjuk rasa tidak mengganggu ketertiban umum.
Kami berunjuk rasa untuk menyampaikan pendapat kami, tentang sesuatu hal yang kami nilai tidak benar.

Lalu ketika unjuk rasa dijadikan sebagai ajang untuk menghukum masyarakat? Apakah tuntutan itu pantas disandangkan kepada mereka-mereka yang hendak berekspresi?
Oleh sebab itu tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang meng-amini tuntutan dan aduan Sisno telah menciderai demokrasi. Ini sebuah kekeliruan yang harus dikoreksi bagi bangsa yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi. Bukankah dalam UU Republik Indonesia tentang Kejaksaan No 16 Tahun 2004,juga menganjurkan bahwa pentingnya tuntutan memperhatikan aspek kepentingan umum?

Bayangkan saja, ada ratusan hingga ribuan orang yang harus dihukum hanya karena berunjuk rasa, memperjuangkan hak-hak mereka setiap saat.

Demonstrasi dan Pengaduan itu harus kami lakukan, karena didasari kekhuatiran yang cukup kuat akan terjadinya pembungkaman kebebasan pers yang berlarut-larut.
Kami bukanlah penjahat, kami bukanlah koruptor dan pelaku kriminal. Kalaupun pada akhirnya kami duduk di persidangan ini, kemudian dituduh dengan tuduhan mencemarkan nama baik, sejarah dan malaikat yang akan mencatat dan kelak dikemudian hari nama-nama semua orang yang terlibat dalam proses persidangan ini akan dikenang anak cucu kita.

Apakah kita mau dikenang sebagai pembela yang benar atau justru pecundang bagi peradaban?

Kita semua bekerja, tentu bukan hanya untuk mencari uang semata, kita juga bekerja bukan untuk jabatan semata dan kebahagiaan semu semata. Kita bekerja untuk sebuah kemuliaan, untuk akhirat dan juga untuk masa depan generasi mendatang. Kita bekerja untuk sebuah pengabdian, dan juga tentu sebuah ketulusan, berlandaskan hati nurani. Apa yang kami lakukan bukan untuk kepentingan saat ini saja tapi sebuah jalan panjang yang bernama kebebasan. Hidup di dunia ini sungguh teramat singkat.Jadi untuk apa melakukan sesuatu tanpa dilandasi cita-cita mulia.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita begitu banyak orang yang sesungguhnya menjadi korban atas sebuah proses peradilan yang justru tidak adil. Kami tentunya, kecewa karena Jaksa Penuntut Umum telah menambah panjang deretan kesalahan-kesalahan itu. Meski demikian kami tentu berharap Majelis Hakim yang mulia bisa menjadi pengadil keadilan tempat hamba hukum berserah.

Majelis Hakim Yang Mulia
Kasus ini, bermula,ketika Irjen Polisi Sisno yang menjabat sebagai Kapolda Sulselbar mengkampanyekan kriminaliasi pers.

Sisno seperti yang dimuat di media masa, menganjurkan para pejabat untuk tidak menggunakan mekanisme hak jawab atau mekanisme penyelesaian sengketa pers yang diatur UU Pers No 40/1999.Ia malah meminta para pejabat yang merasa dirugikan citranya dan daerahnya segera melapor ke polisi.

Berita yang dimuat di Tribun Timur, Seputar Indonesia edisi 20 Mei 2008 dan Harian Fajar Edisi 31 Mei 2008.

Fakta di persidangan, semua jurnalis yang terlibat langsung dalam proses itupun membenarkan pernyataan Sisno, yang kemudian diperkuat oleh Zainuddin Zaka salah seorang notulen yang hadir dalam acara itu, dan diperkuat sebuah rekaman yang akan diserahkan penasehat hukum kami sebagai barang bukti.
Pledoi ini bukan ajang pembenaran dari pihak kami, dan juga bukan ajang menyalahkan pihak lain. Kami hanya ingin Majelis Hakim mendudukkan persoalan ini secara proporsional, fair dan berimbang. Toh muara dari prinsip keadilan itu sendiri akhirnya ditentukan Majelis Hakim Yang Mulia.

Tapi izinkan saya yang mulia, untuk memberikan logika dan analogi berpikir secara sistematis kepada Jaksa Penuntut Umum, kalau sebenarnya dasar tuntutan itu salah.
Dasar pengaduan yang kami lakukan adalah Fakta. Bukan kabar bohong atau palsu. Faktanya adalah , Berita di Koran. Kami menyebutnya Fakta berita.

Lalu dimana dasar Jaksa Penuntut Umum yang mengatakan pengaduan itu palsu? Ok kalau palsu, berarti yang palsu adalah beritanya. Tapi di persidangan semua wartawan yang menulis dan redaktur yang bertugas sudah memberikan kesaksian di bawah disumpah, yang menyatakan apa yang diberitakan itu sudah sesuai dengan fakta di lapangan.
Sisno melalui Kabid Humas Polda, memang sudah memberikan bantahan di Harian Fajar. Tapi saat itu juga, Harian Fajar langsung memberikan penegasan bahwa apa yang diucapkan Sisno sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Panitera yang baik tentu sudah mencatat itu semua di persidangan. (lihat bukti klarifikasi dan jawaban redaksi fajar)

Lalu pertanyaannya, siapa yang memberikan laporan palsu atau pengaduan palsu? Sisno melalui Jaksa Penuntut Umum atau siapa?

Tapi anggaplah Jaksa benar, logikanya adalah begini: Kalau berita itu palsu berarti seharusnya yang dituntut atas kasus ini adalah media terlebih dahulu, sebagai sumber pengaduan kami.Sebab dasar pengaduan kami adalah BERITA. Lalu mengapa sumber dari inti persoalan terlewatkan? Ini juga sebuah pengingkaran fakta. Jaksa dalam hal ini sudah mengabaikan azas kesetaraan dan kesamaan hukum.Jaksa telah digelapkan mati hatinya untuk melihat persoalan ini secara utuh.

Lalu kenapa Jaksa mengabaikan prinsip dasar hukum casualitas, atau hubungan sebab akibat, yang menjadi inti dan penilaian sebuah tindakan hukum?
Majelis Hakim yang Mulia

Dalam penjelasannya, Jaksa Penuntut Umum juga mengatakan kalau Irjen Sisno tidak pernah mengatakan melakukan kriminalisasi pers. Ini juga menjadi hal yang aneh, karena pernyataan itu mengingkari kondisi yang sebenarnya.Sisno bukan hanya melakukan kebohongan public, tapi secara factual telah melakukan penghinaan atas pengadilan ini.

Bukti persidangan sudah menunjukkan adanya kriminalisasi itu,seperti yang dijelaskan Saksi Dewan Pers.Bahwa kata-kata Laporkan itu adalah sebuah kriminalisasi pers. Dan kita bukanlah seorang bocah bodoh, yang hanya berpatokan pada apa yang dikatakan. Dalam teori dan hukum komunikasi disebutkan makna pesan itu terletak pada komunikan bukan pada komunikator.

Yang ingin kami sampaikan ke hadapan majelis hakim yang terhormat, adalah Jaksa telah membuat sebuah tuntutan palsu, karena tidak berdasar fakta.Fakta itu artinya peristiwa yang benar terjadi.

Sebab sampai saat ini, tidak ada seorang pun yang bisa membuktikan kalau Sisno tidak pernah mengucapkan hal itu.Termasuk Sisno sendiri. Sisno malah berusaha membohongi majelis hakim, dengan mengatakan kalau hal itu tidak pernah diucapkannya. Padahal dalam persidangan, semua bukti-bukti, baik berita, keterangan peliput berita dan rekaman jelas adanya.

Tentu kita tidak dalam posisi berdebat tentang kriminalisasi itu sendiri, sebab bagi kami, berita-berita tentang “ajakan Sisno” itu sudah termasuk kriminalisasi pers.Titik.

Lalu Jaksa Penuntut Umum, dalam perkara ini ikut menutupi kebohongan publik Sisno dan berusaha membohongi semua orang di ruang sidang yang terhormat ini, dengan cara membantah kalau Sisno tidak pernah mengucapkannya, dan menuding kami salah tafsir dalam menyimpulkan. Bantahan boleh saja, tapi kami mohon Yang Mulia melihat faktanya. (Lihat bukti-bukti berita dan klarifikasi yang akan diserahkan tim penasehat hukum)
Sisno dan Jaksa telah bersekongkol di ruang sidang ini, untuk menutupi kesalahannya, berkonspirasi menutupi apa yang telah diucapkannya di publik, dan berusaha mengelabui Majelis Hakim, dan secara tersistematis menuduh kami, sebagai pembuat laporan palsu.

Jaksa Penuntut Umum, telah menggiring kita semua untuk mengadili sebuah kasus yang tidak dilandasi fakta-fakta tapi hanya karena berdasarkan asumsi, dugaan, dan perasaan yang sifatnya abstrak.

Majelis Hakim yang mulia

Jaksa Penuntut Umum juga menuduh kami membuat pengaduan palsu kepada penguasa. Saya ingin bertanya kepada hadirin, Apakah salah jika kita mengadu kepada lembaga negara, yang sudah diatur Undang-Undang menjadi tempat pengaduan, seperti yang diatur oleh UU.

Jaksa Penuntut Umum yang baik, Kami mengadu ke Dewan Pers, sebab dalam UU Pers No 40/1999 Pasal 15 ayat 2, Huruf D berbunyi “Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”.

Lagipula, Dewan Pers itu, adalah lembaga publik yang menjadi tempat pengaduan bagi setiap insan pers. Kalau itu yang dipersalahkan, lalu dimana para jurnalis harus mengadu terkait pemberitaan dan pembelaan kemerdekaan persnya?
Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers, Abdullah Alamudi dalam sidang malah menilai, langkah itu sudah tepat.

Sementara mengadu ke Kompolnas, itu sudah sesuai dengan UU RI No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 38 ayat 2 huruf C, berbunyi, yaitu Kompolnas menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannnya kepada presiden.

Kami mengadu ke Kompolnas dan Kapolri karena jamak, setiap pejabat kapolda kalau bermasalah dilapor ke atasannya. Bukan kepada bawahannya. Pengurus AJI Indonesia bahkan bertemu langsung Kapolri untuk melaporkan Irjen Pol. Sisno Adiwinoto .

Anehnya, Jaksa Penuntut Umum justru menuntut kami karena langkah melaporkan itu.
Anggota Komnas HAM Josep Adi Prasetyo dan Prof Dr Aswanto SH yang menjadi saksi malah menilai pengaduan seperti itu seharusnya dilindungi oleh Negara.

Kalau tuntutan hukum Jaksa ini diterima sebagai kebenaran hukum, lalu akan kemana lagi masyarakat mengadukan masalahnya? Bisa-bisa masyarakat akan mengadu ke dukun saja agar tidak dituntut secara hukum.

Dasar tuntutan inilah yang membuat kami ngeri akan negeri ini. Jika setiap pejabat negara, penegak hukum merasa dicemarkan nama baiknya akibat dilaporkan oleh masyarakat kepada atasannya, atau kepada lembaga negara yang sah, apa jadinya negeri ini.

Saya khawatir tidak akan ada lagi orang yang akan mengadu dan menyampaikan keluh kesahnya. Lalu negeri ini akan menjadi negeri yang kembali kepada masa orde baru,yang semuanya menjadi takut untuk mengeritik. Implikasinya sangat berbahaya bagi pertumbuhan demokrasi itu sendiri.

Mohon Majelis Hakim mempertimbangkan hal ini untuk kepentingan keterbukaan informasi, dan hak-hak dasar masyarakat untuk bersuara.

Jaksa Penuntut umum, telah membawa kita pada zaman otoriter. Dan jelas-jelas sangat kontraproduktif dengan semangat reformasi dan demokrasi yang tengah dibangun pemerintahan saat ini.

Kita semua patut mempertanyakan dasar tuntutan ini. Karena selain mengabaikan azas keadilan, juga Jika tendensinya hanya untuk mencari-cari kesalahan sesuai pesanan dan keinginan Seorang Sisno, maka sesungguhnya tuntutan Jaksa itu telah menciderai semangat jaksa itu sendiri. Bagaimana mungkin seorang Sisno bisa mendikte tuntutan Jaksa. Apakah ada sesuatu di balik ini semua. Yang pasti, ini sebuah kemunduran berpikir dan berpijak kejaksaan yang telah dengan susah payah direformasi para pendekar jaksa seperti Jaksa Silalahi, Baharuddin Lopa dan M Yamin.

Kami sedih melihat tuntutan itu. Kami sedih bukan karena tuntutan itu mengarah kepada koordinator koalisi yang merujuk kepada saya selaku terdakwa, tapi kami sedih di iklim yang begitu terbuka Jaksa Penuntut Umum masih mengggunakan cara-cara orde baru yang menggunakan cara berpikir feodalistik, strukutral dan anti kritik.Jaksa penuntut umum telah mempertaruhkan kredibilitas dan citranya sendiri,.

Dalam sidang sebelumnya, kami berkali-kali mengatakan, sebenarnya yang Anda tuntut saat ini adalah bukan Upi Asmaradhana. Tapi anda menuntut Kebebasan Pers, Kebebasan berpendapat, dan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Pertanyaannya apakah mungkin dan apakah bisa, dan apakah adil sebuah perbedaan pendapat, daya kritis, dan upaya membela kepentingan orang banyak itu diadili lalu dihukum?

Jaksa Penuntut Umum telah gagal merekonstruksi tuntutan masa depan Kejaksaan itu sendiri. Saya sedih berkali-kali, kali ini. Karena awalnya kami berharap Jaksa bisa bersinergi dengan elemen-elemen demokrasi.Tapi maaf Jaksa kali ini masih berpikiran sempit entah apa sebabnya.

Majelis Hakim Yang Mulia

Pokok dan Akar Persoalan
Kriminalisasi Pers itu sesungguhnya adalah hal yang membahayakan dan mengancam kebebasan pers.


Apakah Jaksa Penuntut Umum tahu dampaknya bagi para jurnalis, jika ini dibiarkan terjadi?

Itu artinya, setiap hari para jurnalis di Makassar akan diperiksa polisi karena beritanya. Setiap hari para jurnalis akan dipanggil polisi, yang berarti pula, jurnalis pada akhirnya tidak akan bisa kritis, karena setiap waktu dilapor ke polisi. Akibatnya jurnalis akhirnya berpikir tidak perlu melakukan kritik dan kontrol.
Padahal kita tahu bersama pers adalah salah satu pilar demokrasi, yang berfungsi mengawasi dan mengawal pemerintah dan elemen-elemen publik lainnya.

Kalangan perguruan tinggi di Jurusan Komunikasi dan Jurnalistik harus membuat teori baru dalam jurnalistik , yaitu selain mencari, mengolah dan menyampaikan berita, jurnalis juga harus mempunyai ketrampilan teknik diinterogasi polisi.

Akibatnya, jangan mimpi para wartawan akan menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Berita yang ada di media, hanya lips service, puja-puji. Pers menjadi agen informasi publik menjadi fatamorgana.

Dalam situasi seperti ini, tidak akan ada berita tentang oknum polisi jahat, tidak ada lagi berita pejabat yang korupsi, tidak ada lagi berita oknum jaksa yang terima suap.Tidak ada lagi berita-berita tentang penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dari aparat dan penguasa.Dan tidak ada lagi pejabat yang dikritik masyarakat, Karena semuanya dengan centang perenang, bisa mengancam para wartawan ke polisi, karena polisi sendiri tidak lagi mengindahkan apa yang disebut mekanisme hak jawab dan UU Pers.

Padahal Dewan Pers sendiri telah berkali-kali mengingatkan perselisihan kata-kata diselesaikan dengan kata-kata pula. itulah hakekat dari sebuah negara yang berdemokrasi.

Kami berupaya untuk mengingatkan Jaksa Penuntut Umum, sebaiknya tak lagi ada jurnalis yang harus dipenjara karena beritanya. Tidak ada lagi warga Negara yang dipenjara karena melaporkan pejabat berdasarkan berita kepada atasannya. Dan tidak ada lagi orang yang diadukan ke polisi dan diseret ke meja hijau seperti Ibu Prita Mulyasari di Tangerang karena mengeritik Rumah Sakit Omni Internasional dan Kho seng-seng yang menulis surat pembaca di surat kabar.

Dan Jaksa penuntut umum yang kami hormati, Tuntutan Jaksa tidak hanya mengebiri kebebasan koordinator koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers, tapi Tuan Jaksa telah mengebiri kebebasan pers, dan menciptakan sebuah masyarakat dimana pers menjadi anjing penurut. Dan masyarakat yang serba ketakutan.

Semua orang di Negara ini, akan berada dalam dogma dilarang mengeritik, dilarang melaporkan pejabat ke atasannya. Tuan Jaksa harus bertanggung jawab dunia akhirat atas tuntutannya. Sebab Tuan jaksa telah menghalangi hak dan kewajiban seorang warga negara yang merdeka.

Ini yang membuat kami sedih. Tuntutan Jaksa bisa membunuh semangat kritis jurnalis Makassar untuk menyuarakan aspirasinya.Tuntutan Jaksa telah mengubur semangat kontrol warga negara terhadap pemerintahnya.

Tuan Jaksa dan Majelis Hakim yang mulia, toh apa yang dikhuatirkan itu sebenarnya bukan sebuah alasan yang dibuat-buat.

Faktanya, Jumadi Mappanganro Jurnalis Tribun Timur merupakan jurnalis pertama yang dipanggil polisi karena beritanya, saat Sisno menjabat sebagai Kapolda. Itu belum termasuk beberapa kasus-kasus lainnya.

Jumadi dipanggil polisi lantaran ia menulis berita tentang seorang anak yang terpisah dari orang tuanya. Anak balita itu ditemukan di pinggir jalan oleh seorang wartawan Radio di malam hari. Sang wartawan ini, kemudian membawa anak ke Tribun, karena sebuah polsek menolak anak itu dititipkan di kantor polisi.
Di Tribun, Jumadi menelpon salah satu Polsek itu, lalu polisi disana mengatakan polsek bukan tempat penitipan anak.

Keesokan harinya, ketika berita itu muncul, Jumadi bukannya diberi selamat atas pemberitaannya, karena telah menyelamatkan sang anak hingga bertemu keluarganya, ia malah dipanggil polisi untuk dimintai keterangan, karena tulisannya yang dinilai menyudutkan polisi.

Kapolda bukannya memeriksa anak buahnya yang tidak mampu menjadi pengayom masyarakat, malah memeriksa wartawan yang menjalankan fungsi kritiknya. Ini fakta.

Kalaupun Sisno mengaku tidak pernah punya niat untuk melakukan kriminalisasi pers.
Apakah dengan menyeret kami sebagai saksi, kemudian tersangka, dan saat ini menjadi terdakwa, apakah bukan sebagai bukti otentik, bahwa Sisno menganut dan mendukung kriminalisasi pers.Sekali lagi, keberadaan saya di sidang ini,justru adalah bukti yang tak terbantahkan bahwa Sisno mempelopori dan ingin “menggiatkan”kriminalisasi pers.

Lalu bukti apalagi yang hendak kami sampaikan di hadapan Tuan Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim yang amat mulia.

Majelis Hakim Yang Mulia

Jaksa digaji oleh negara, yang berasal dari keringat masyarakat yang dikumpulkan dari pajak negara. Tapi kami merasa tak layak Jaksa digaji oleh rakyat, karena Tuan Jaksa menggunakan hasil keringat rakyat justru untuk membunuh dan membungkam hak hidup rakyat.

Mengapa, karena Tuan Jaksa telah melakukan sebuah penuntutan yang sangat sulit dicerna oleh akal sehat.

Kami sungguh amat terpana dan dibuat terheran-heran, manakala tuntutan jaksa, dibuat tanpa mempertimbangkan fakta-fakta persidangan. Kami bukanlah orang bodoh. Bagaimana mungkin keterangan saksi-saksi yang diberikan, justru diabaikan.
Lebih hebatnya lagi Tuan Jaksa telah membuat sebuah kesimpulan, mendahului keputusan Hakim yang teramat mulia, dengan menvonis saya telah merusak hubungan institusi kepolisian dengan jurnalis.

Dalam kaitan apa, dan sebab akibat apa, sampai-sampai seorang Jaksa yang telah dihidupi negara untuk mencermati setiap tuntutan kepada warga Negara Indonesia, membuat sebuah tuntutan yang tak jelas asal muasalnya.

Tuduhan ini malah mengingatkan kami, atas tuduhan atas diri Sokrates yang diadili karena tuduhan yang tidak benar, pada abad kelima dan keempat Sebelum Masehi.
Dalam Tetralogi Plato, Sokrates telah dituduh telah meracuni pikiran warga Atena. Tuan Jaksa harus benar-benar berhati-hati menggunakan kata-kata itu. Sebab itu berarti Tuan Jaksa sama saja dengan membuat sebuah ruang konflik baru tentang hal itu. Saya malah menilai tuntutan ini, hanya memindahkankan alis mencopy paste pikiran picik seorang Irjen Pol Sisno yang sama sekali enggan dikritik.

Perlu Tuan Jaksa tahu anggota dan pendukung Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers umumnya sarjana S1, sebagian S2, bahkan ada yang Doktor. Amat naïf jika saya yang hanya seseorang lulusan jurnalistik S1 Unhas bisa mempengaruhi mereka untuk melawan seorang Sisno. Keterlibatan mereka tentunya karena adanya kepentingan bersama disini, yaitu terancamnya kebebasan dan kemerdekaan pers. Jadi sangat mustahil saya telah memprovokasi dan meracuni pkiran jurnalis di Makassar, untuk merusak hubungan dengan institusi kepolisian.

Mohon Tuan Jaksa kalau bisa menarik dan membuang jauh-jauh ke laut losari tuntutan yang memberatkan terdakwa selama persidangan itu. Sebab selama ini, jurnalis yang tergabung dalam Koalisi, terdiri atas tiga organisasi jurnalis besar di Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen AJI Kota Makassar, Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulsel dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulsel, plus 203 jurnalis dari berbagai organisasi seperti Pewarta Foto dan Jurnalis On-line tidak pernah ingin gara-gara kasus ini membuat hubungan antara institusi kepolisian dan jurnalis memburuk.

Tim inti koalisi jurnalis yang selama ini ikut melakukan perlawanan, seperti Ana Rusli (Anteve), Humaerah (Kantor Berita 68 H Jakarta), Iwan Taruna (SCTV), Jumadi Mappanganro (Tribun-Timur), Erwin Bahar dan Silauddin Genda (Fajar), Aryo Wisanggeni (Kompas), Andi Aisyah (Bisnis Indonesia), Muh Hasrul (Sun-TV Makassar), Taufiq Lau (Metrotv), Andi Ahmar dan Muh Takbir (TVOne), Ambang Ardi (LPTV Indonesia), Rahmat Zena (Viva News), Nina Amir (Gamasi FM), Puja Sutamat dan Ernaeda (Delta FM), Kiblat Said (Suara Pembaruan), Suriani (Inilah.Com)

Bahkan Para pemimpin Redaksi Media lokal yang selama ini memberikan dukungan penuh, Sukriansyah S Latief (Fajar), Dahlan Dahi (Tribun Timur), M Noor Korompot (Bisnis Indonesia), Nasrullah Nara (Kompas), Mustawa Nur (Berita Kota Makassar).
Para ketua Organisasi : Andi Fadly Ketua AJI Makassar, Nasrullah Nara Ketua PJI Sulsel, dan Husain Abdullah Ketua IJTI Sulsel, tak pernah terlintas sedikitpun dibenak mereka merusak hubungan itu. Lagi pula untuk apa?

Tuduhan yang menyebutkan kami telah merusak hubungan itu, tak ubahnya kami sebagai perusak alam berpikir warga Athena sebagaimana yang tercantum dalam Apologia, Euttyfro dan Krito.

Tuntutan itu, sebenarnya amat teramat kejam karena tidak dilandasi bukti, apalagi tidak ada hubungannya dengan materi kasus yang sedang disidangkan.
Tuntutan itu juga jelas-jelas mengadu domba, bahkan Jaksa Penuntut Umum telah membuat kesimpulan sendiri, yang justeru akan menimbulkan persepsi baru.

Pertanyaan kami, apa salah dan dosa kami kepada Jaksa Penuntut Umum, sehingga dengan setega-teganya, kemudian menuduh kami telah merusak hubungan antara institusi itu.
Tuduhan itu sangat makar bagi peradaban yang sehat dan kami berharap Majelis Hakim yang terhormat menolak tuntutan itu karena justeru berpotensi menimbulkan masalah baru.

Apalagi, Tuduhan ini jelas-jelas di luar konteks dan cenderung provokatif bahkan melegitimasi sebuah persoalan yang tidak berkaitan satu sama lain. Dan diluar subtansi persoalan.

Tuntutan Jaksa yang menyatakan memberatkan saya sehingga harus diganjar satu tahun penjara adalah sebuah alasan yang tidak jelas dan cenderung tidak dasarkan fata dan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan.

Majelis Hakim yang Mulia

Jurnalis Makassar itu tidak akan pernah membuat protes seandainya Sisno tidak mengeluarkan pernyataannya secara terbuka dan berkali-kali di media massa. Apa yang kami lakukan ini adalah reaksi atas aksi yang dilakukan seorang Sisno. Tentu tak ada asap kalau tidak ada api.


Sebab untuk apa menyikapi sesuatu yang tak penting. Terlalu banyak urusan yang harus dilakukan. Kami harus liputan, kami harus berkumpul dengan keluarga dan kami juga harus melakukan kegiatan-kegiatan lain.

Tuan Jaksa perlu tahu, selama 15 tahun kami bertugas di wilayah ini, tak seorang pun Kapolda yang mengutak atik iklim kebebasan pers. Tak seorang pun Kapolda dimana polisi datang ke redaksi dan masuk ke news room media memeriksa wartawan dan membuat BAPnya.Tak seorang pun Kapolda yang mengajak semua pejabat untuk melaporkan wartawan ke polisi karena merusak citra pejabat dan daerah. Tak seorang kapolda pun yang mengatakan dimana-mana kalau jurnalis Makassar itu “kompor”, suka memanas-manasi situasi. Dan itu hanya dilakukan oleh seorang kapolda bernama Irjen Polisi Sisno Adiwnoto. Lalu apakah salah jika kami mengingatkan pejabat itu.

Lagipula, sejak awal persoalan ini, kami sudah lokalisir dengan berupaya bijak, bahwa sesungguhnya persoalan ini bukan antara insitusi kepolisian dengan jurnalis.
Tuan Jaksa perlu tahu sejak awal, kami selalu tekankan yang bersengketa dalam hal ini adalah Irjen Polisi Sisno Adiwinoto yang kebetulan menjabat sebagai Kapolda dengan Jurnalis Makassar.

Dalam pertemuan dengan Dewan Pers, Jajaran Kepolisian, dan unsur masyarakat di MGH 17 Juli 2008, di hadapan para kapolwil dan kapolres se Sulselbar kami jelaskan dengan baik-baik. ini bukan perselisihan antara polisi dan jurnalis.
Tapi khan faktanya aneh. Sisno itu selalu membawa-bawa persoalan ini ke ranah institusinya. Setiap kali, bahkan dipersidangan ini, ia selalu membawa persoalan ini sebagai masalah kepolisian. Padahal ini nyata-nyata tingkah laku Sisno pribadi. Sisno malah berlindung dibalik jabatannya. Buktinya kapolda sekarang Irjen Pol Mathius Salempang tak melanjutkan kasus ini sebagai kasus Polda Sulselbar. Itu jika dianalogikan kasus ini adalah kasus antara institusi. Makanya, sejak awal,kami berkeyakinan Sisno telah meyalahgunakan wewenang dan kekuasannya.

Sementara di lain pihak, ia selalu memposisikan diri kami, sejak dari pemeriksaan saksi, jadi tersangka dan terdakwa, oleh Jaksa Penuntut Umum dianggap sebagai perbuatan atas pribadi saja. Jaksa penuntut umum, selalu menggiring persoalan ini ke masalah personal saya sendiri. Jaksa bahkan selalu memisahkan saya dari identitas dan entitas saya sebagai jurnalis.

Perlu jaksa tahu jurnalis itu melekat diri kami hingga akhir usia dan akhir zaman.Rosihan Anwar misalnya, jurnalis senior, meski saat ini tidak lagi bekerja pada sebuah media,tapi mereka tetap menyandang sebagai jurnalis.

Apalagi, tidak ada motif pribadi kami disini. Kami bergerak atas nama jurnalis, yang memperjuangkan kepentingan jurnalis. Mungkin Jaksa perlu teliti, nama pribadi saya di surat pengaduan itu tidak pernah menyebutkan saya sebagai pribadi. Nama lengkap saya sesuai KTP Jupriadi Asmaradhana NIK 737111 010774 0001. Tapi yang tertera adalah nama Jurnalis saya Upi Asmaradhana. Artinya tidak ada KEAKUAN saya disana, tapi yang ada adalah identitas kejurnalisan saya. Yang menuliskan dan bergerak adalah atas nama profesi, bukan atas nama pribadi.

Sisno dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum selalu membawa kasus pribadi dia sebagai kasus Kapolda dan juga sebaliknya. Sementara kami sebagai Koordinator Koalisi, sebagai bukan kasus jurnalis. Buktinya, dalam sebuah surat yang selama ini tidak pernah terungkap di persidangan Sisno telah mengirimkan sebuah surat ke berbagai institusi.
(lihat dan baca lampiran surat kapolda kepada Tribun)

Majelis Hakim yang mulia.
Motifnya Membela Kepentingan Publik


Ini tahun ke-15 kami mengabdi di profesi ini. Selama rentang waktu itu pula sudah terlalu banyak hal yang telah diberikan profesi ini. Kali ini saatnya kami memberikan konstribusi.

Karenanya kami perlu jelaskan kepada publik, kepada Tuan Jaksa dan Majelis Hakim Yang Mulia. mengapa kami melawan,maka jawabnya adalah dua hal:

Pertama:
Kami sangat mencintai profesi ini.Karena kami cinta makanya kami akan membelanya sampai kapan pun hingga titik terakhir. Kenapa kami harus bela, sebab alasannya cukup idiologis. Jika jurnalis dibungkam, maka sesungguhnya yang dibungkam adalah rakyat. Jika rakyat dibungkam maka sesungguhnya yang dipenjara adalah Demokrasi dan hak asasi manusia. Kami merasa terpanggil membela kepentingan nilai itu. Dan tentu pilihan ini telah banyak mengorbankan banyak hal.

Faktanya. Kami harus kehilangan pekerjaan di Metrotv, tempat saya bekerja. Ini adalah kekosongan hidup terbesar saya secara pribadi sebagai seorang profesional.Sulit rasanya untuk meninggalkan aktivitas liputan setiap harinya.Sebab meliput bukan sekadar mencari uang, tapi sebuah panggilan nurani untuk mengabarkan.Selain mengalami kesepian nurani dan jiwa lantaran berpisah dengan aktivitas liputan, kehilangan pekerjaan berarti kehilangan sumber utama penghidupan kami sekeluarga.

Akibatnya kami terpaksa menjual barang-barang kami untuk menutupi biaya hidup, biaya kuliah adik, pengobatan orang tua kami yang jatuh sakit akibat kasus ini, dan biaya gerakan pasca penetapan tersangka, serta biaya sebuah sekolah jurnalis yang telah kami bangun, untuk masa depan jurnalis-jurnalis Indonesia, di kota ini.

Kalaupun ada yang harus saya sesali secara personal dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, saya harus memutuskan pembiayaan atas dua orang anak asuh atau anak angkat saya selama ini.

Itu belum termasuk harus menghadapi beban psikis akibat berbagai teror, intimidasi, hingga ancaman pembunuhan, yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertangggungjawab.Baik melalui telpon, sms, dan tikus-tikus mati di depan rumah kami.Kendaraan kami juga kerap dikempesin bannya oleh orang yang tak dikenal.

Saya pun harus menunda keinginan saya, untuk menikah di tahun 2008 silam, ketika saya harus kehilangan calon istri lantaran status tersangka dan terdakwa itu tidak menyenangkan di mata calon mertua.

Sisno malah sempat Menggugat lagi secara Perdata senilai 10 Milyar plus 25 juta dan sita jaminan rumah tinggal dan keharusan membayar 100 ribu perhari jika menunggak.
Ibarat kata pepatah, semua sudah kami berikan, dan semua sudah dirampas. Lalu apalagi yang hendak diambil dari kehidupan kami wahai Jaksa Penuntut Umum? Belum cukupkah saya dan rekan-rekan kami harus berkutat dengan kasus ini selama setahun sudah? Belum cukupkah kami harus mengikuti sidang yang sudah memasuki sidang ke-25 atau tujuh bulan lamanya?

Tapi kami tak akan pernah menyerah.Karena apa yang kami lakukan atas dasar cinta melindungi profesi. Cinta terhadap kebebasan pers, demokrasi dan hak asasi manusia. Biarkan kami memberi cahaya seperti cahaya matahari kepada bumi di waktu siang, dan cahaya rembulan di waktu malam, dan cahaya gemintang diwaktu badai.

Dengan segala penghormatan, hanya ada satu kata, maafkan kami, karena kami diberi cinta Mencintai Kebebasan Pers, dan kebebasan Berekspresi menuju negara yang lebih demokratis.

Kami bermimpi suatu ketika, dimana jurnalis bebas menuliskan fakta untuk masyarakatnya dan tak seorang pun penjahat kemanusiaan, para koruptor dan pejabat yang menyalagunakan wewenangnya bebas dari tajamnya pena jurnalis.

Majelis Hakim Yang Mulia

Tuduhan Tuan jaksa kepada saya, bahwa yang kami lakukan bukan tugas jurnalis adalah pemikiran yang sepotong-sepotong. Tidak memahami subtsansi persoalan.

Apa yang kami lakukan jelas adalah bagian dari tugas kami sebagai jurnalis, dan sebagai warga negara. Kami berhak dan wajib hukumnya melindungi profesi kami, dari berbagai pihak dan campur tangan orang yang akan merampas kebebasan dan kemerdekaan pers. Sebagai jurnalis, kami mempunyai tugas melaksanakan tugas-tugas jurnalis dan melindungi para jurnalis dan media.

Dan sebagai warga negara kami berhak dan wajib hukumnya untuk melakukan control dan koreksi. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Tuan Jaksa bisa tuntut kami, bisa ancam atau bahkan penjarakan kami tapi tidak jiwa kami. Tuan Jaksa bisa sita harta benda kami, tapi tidak nurani kami, Tuan Jaksa bisa rampas pekerjaan kami, kebahagiaan kami tapi tidak kemerdekaan dan idealisme kami. Kami sudah memilih bagaimana kami memilih hidup. Dan bagaimana kami mengabdi kepada publik.

Kedua:
Alasan kedua motif dari perlawanan jurnalis Makassar, adalah, perlawanan jurnalis Makassar terhadap pejabat publik yang anti kritik dan anti kebebasan pers. Sesungguhnya, ini bukan sekadar melawan seorang Sisno saja yang menjabat sebagai Kapolda.

Disini ada sebuah pesan dan makna yang kami ingin sampaikan kepada publik, bahwa saat ini banyak pejabat di daerah ini yang anti kritik dan itu sebuah model baru kepemimpinan di daerah ini.Dua kasus terakhir, anggota PKS di Pare-pare dan di Bantaeng adalah contoh kasus.

Dahlan Dahi Pemimpin Redaksi Tribun Timur, mengatakan, Yang kita lawan sebenarnya bukan diri seorang Sisno semata. Tapi adalah para pejabat yang anti kritik, dan anti kebebasan pers. Kenapa harus dilawan, sebab siapa saja yang anti kritik berarti dia anti kebebasan.Dan para pejabat publik yang melawan kebebasan pers sesungguhnya adalah musuh masyarakat.

Karenanya adalah tugas semua pihak,termasuk jurnalis, para pejabat publik itu harus dikontrol cara berpikir, dan cara bertindaknya.Sebab para pejabat publik itu selain digaji oleh negara dia juga milik masyarakat.

Sehingga tuduhan Tuan Jaksa Penuntut Umum kepada kami, bahwa telah mencemarkan nama baik Irjen Polisi Sisno adalah keliru, sebab apa yang kami lakukan hakekatnya menjalankan fungsi kontrol, untuk melindungi publik dari keterbukaan memperoleh akses informasi dari para jurnalis dan media.

Majelis Hakim juga bisa melihat keterangan dari semua saksi dari anggota koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers Makassar. Termasuk keterangan terdakwa, dan dicatat panitera, yang baik hati. Bahwa semua dilakukan murni untuk membela dan melindungi kepentingan publik..

Jurnalis bukan sekadar bertugas mengabarkan peristiwa. Tapi ia juga menjadi pengikhtiar kebenaran.Menjaga dan melindugi kemerdekaan pers dari pihak-pihak yang mengancam bahkan membungkam kebebasan pers. Wartawan harus bisa mengungkap fakta seberapa besar itu tantangannya. Jurnalis juga bahkan merelakan segenap jiwa raganya hanya untuk mengabarkan fakta dan kebenaran, termasuk membela kemerdekaannya sendiri dan kemerdekaan masyarakat untuk memperoleh informasi.

Jadi jika mau ditelisik, tujuan Sisno mengkrimanalisasikan jurnalis Makassar, kemudian dipertegas oleh Jaksa Penuntut Umum melalui tuntutannya, kami anggap sebuah upaya tersistematis dari sebuah sistem yang tak ingin melihat Media dan Jurnalis tumbuh sebagai kekuatan demokrasi. Mereka enggan dan tak ingin disentuh kontrol media massa.

Makanya sejak awal kami berusaha untuk mengingatkan, bahwa ada yang tidak beres di alam demokrasi di daerah ini. Ada pola dan konspirasi yang lebih besar dari apa yang dilakukan seorang kapolda kemudian dijadikan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dan itu berbahaya jika dibiarkan

Saat ini ada kekuatan yang maha dashyat, yang dilakukan untuk membungkam daya kritis jurnalis Makassar. Oleh sebab itu, atas nama kebebasan pers, dan terciptanya demokratisasi yang lebih baik, mohon kiranya, Majelis Hakim mengabaikan tuntutan jaksa.

Tuntutan Sisno melalui Jaksa Penuntut Umum malah akan semaki membuat pihak-pihak yang selama ini ingin membungkam daya kritis jurnalis akan semakin berjaya.
Majelis Hakim Yang Mulia

Kami berharap kalau bisa bermohon dengan amat sangat. Majelis Hakim berpikiran lebih jauh ke depan untuk melindungi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat itu sendiri. Majelis Hakim yang terhormat harus melindungi, dan mengawal demokrasi di Negara kita, agar berjalan sesuai cita-cita dan amanah para pendiri negara ini. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, demokrasi kini menunggu kearifan dan kebijakan Majelis Hakim Yang Mulia. Dan kami masih percaya Majelis Hakim tetap memiliki moral dan komitmen yang cukup tinggi untuk membela itu.

Majelis Hakim yang Mulia
Kami berada disini murni untuk mengawal kebebasan pers, kebebebasan berpendapat, dan demokrasi itu sendiri. Jadi mohon majelis hakim mempertimbangkan dampak yang lebih besar jika saya divonis bersalah.

Vonis bersalah akan membawa dampak bagi daya kritis jurnalis Makassar, berpengaruh bagi kebebasan pers, berimplikasi bagi kebebasan berpendapat, dan pada akhirnya merusak penegakan citra demokrasi dan hak asasi manusia.

Maka atas nama Allah SWT, dan atas nama cita-cita luhur kemanusiaan dan peradaban. Atas nama generasi mendatang, atas nama anak cucu kita 100 tahun yang akan datang dan atas nama jiwa-jiwa yang pembebas. Izinkan kami berdoa kiranya majelis hakim diberi kekuatan dan dibukakan pintu hatinya untuk memutuskan yang terbaik bagi kebebasan pers, demokrasi dan hak asasi manusia itu sendiri.

Sebagai kesimpulan, bahwa apa yang kami lakukan selama ini tujuannya membela dan memperjuangkan kebebasan pers.Melindungi masyarakat dan menegakan demokrasi, serta untuk kepentingan umum.Sokrates menuliskan,sebagaimana dikutip dalam buku Filsafat Hukum, hukum yang adil harus memihak kepada kepentingan semua orang.Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama.Bukan kebaikan seseorang saja semestinya.

Mengakhiri pledoi ini, izinkan kami mengutip pernyataan ahli hukum Prof DR Satjipto Rahardjo, SH seperti yang beliau tulis di Harian Kompas tanggal 19 Februari 2006 yang berjudul Meratap Raju dibalik Jeruji…”Apabila hukum itu dijalankan seperti mesin, maka unsur-unsur hukum termasuk polisi, jaksa, hakim dan lain-lain, juga akan menjadi sekrup-sekrup dari mesin yang namanya hukum itu. Kalau hukum itu bukan mesin, maka ia harus melihat dengan mata hati nuraninya. Rasionalitas saja sama sekali tidak cukup. Hanya hukum yang melihat dan membaca pasal-pasal dengan hati nurani yang dibutuhkan oleh bangsa ini. Bukan hukum yang seperti mesin. Karena itu berkali-kali diingatkan, menjalankan hukum itu membutuhkan empati, komitmen dan dedikasi.

Sekian
Salam Kebebasan Pers.Salam kebebasan Berpendapat.
Assalamu Alaikum Wr Wb.

Makassar, 4 Agustus 2009

Terdakwa
Upi asmaradhana.


Lampiran :
1.Daftar Riwayat hidup
2.Surat Sisno kepada Institusi
3. Kliping Koran Fajar, Tribun, Sindo
4. Copy Surat Ke Dewan Pers dan Kompolnas dan Kapolri.
5. Surat dukungan Ketua Organisasi

Komentar

Postingan Populer