OPINI

Beda Pendapat Tak Perlu Diadili
Oleh : Eko Maryadi (Item)
*Pengurus Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia


Kasus peradilan mantan kontributor Metro TV Upi Asmaradhana di Pengadilan Negeri Makassar, menjadi perbincangan banyak kalangan di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Tim lawyer dari Australia yang dipimpin Jim Nolan, juga organisasi Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) yang bermarkas di Brussels, ikut memonitor persidangan Upi dari jauh.

Upi Asmaradhana, dituduh melakukan kejahatan pasal-pasal 311, 317, 207 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia menyusul pertentangannya melawan mantan Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Sisno Adiwinoto.

Ketiga pasal KUHP itu menempatkan Upi Asmaradhana sebagai terdakwa perkara pencemaran nama baik, memfitnah dengan tulisan, dan menghina penguasa umum, dengan ancaman hukuman maksimum 4 tahun penjara.

Tulisan ini tidak akan memasuki wilayah di mana materi perkara disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar. Melainkan lebih pada tinjauan kritis soal sikap penguasa di Republik ini dan bagaimana peran pers dalam mengawasi jalannya kekuasaan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Kasus peradilan Upi Asmaradhana di Pengadilan Negeri Makassar secara esensial bersentuhan dengan masalah perbedaan pendapat dan kebebasan berekspresi yang tercantum dalam pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 dan terkait Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Awalnya Debat
Akar persoalan kasus Upi jelas dari prosisinya sebagai jurnalis, kontributor Metro TV wilayah Sulawesi Selatan. Saat itu Upi melakukan kritik terhadap ucapan Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Sisno Adiwinoto yang mengatakan : "Masyarakat yang dirugikan oleh pemberitaan pers dipersilakan menuntut wartawan secara hukum dan polisi akan memproses wartawan itu secara pidana".

Pernyataan Kapolda Sisno ini langsung menuai kecaman dan mengundang perdebatan di kalangan jurnalis Makassar. Kebanyakan jurnalis mengecam ucapan Irjen Pol Sisno Adiwinoto yang dinilai merupakan ancaman bagi profesi jurnalis dan mendelegitimasi UU Pers Nomor 40 tahun 1999.

Pasal 8 UU Pers telah "menjamin kemerdekaan pers" sedangkan pasal 15 "memberikan wewenang kepada Dewan Pers menjadi mediator sengketa pemberitaan antara masyarakat dengan pers".

Adapun Jenderal Sisno dalam berbagai tempat dan waktu mengatakan bahwa UU Pers Nomor 40 tahun 1999 bukan UU yang khusus (lex spesialis). Sisno berpendapat penggunaan instrumen KUHP untuk menjerat kasus pers juga tidak bisa dipersalahkan. UU Pers hanya berisi aturan terkait pers, sedangkan KUHP merupakan instrumen hukum yang bersifat umum dan mengikat seluruh warga negara -termasuk jurnalis dan pers, kira-kira begitu jalan pikiran Jenderal Polisi Sisno.

Dua arus pendapat itu secara esensial sama benarnya. Namun penyikapan yang berbeda membuat perbedaan pendapat itu mengkristal menjadi pertentangan kepentingan yang tajam antara Kapolda Sulselbar melawan jurnalis di Makassar.

Dua arus pendapat itu pula yang pada hari-hari berikutnya mengisi pemberitaan pers di Sulawesi Selatan. Secara ringkas, beda pendapat itu bisa ditarik dalam kubu pro-UU Pers dan menolak kriminalisasi pers dengan KUHP, melawan kubu pro-KUHP dan berupaya meminggirkan instrumen UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Saat itulah Upi yang memimpin Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers mengadukan sikap Sisno itu ke Mabes Polri, Dewan Pers, dan Komisi Kepolisian Nasional di Jakarta.

Rupanya kasus pelaporan Upi ke Jakarta itu berbuntut panjang. Irjen Polisi Sisno tidak terima dan menuduh Upi memfitnah dirinya melalui tulisan2 yang dilaporkan ke Jakarta. Sisno menilai kritik dan upaya Upi telah mencemarkan nama baiknya dan menghina penguasa umum (sebagai Kapolda). Kasus ini melebar ke wilayah "hukum" ketika Irjen Sisno melaporkan Upi ke institusinya sendiri, Kepolisian Daerah Sulselbar, dengan sederet pasal pidana KUHP.

Langkah Kapolda Sulselbar melaporkan Upi ke Polda Sulselbar sebenarnya mengandung kerancuan hukum yang fatal. Dapat dikatakan pilihan Jenderal Sisno melaporkan menjerat Upi itu berbau "pamer kekuasaan". Ini seperti pesan khusus seorang kapolda kepada warga sipil di wilayahnya bahwa ia bisa menghukum siapapun yang tidak patuh.
Situasi ini tentunya bukan contoh kampanye positif bagi institusi Polri yang sedang menjalani proses reformasi internalnya. Organisasi jurnalis seperti AJI pun melihat upaya Jenderal Polisi Sisno itu bisa mengandung kemungkinan terjadinya abuse of power seorang pimpinan polisi terhadap warga negara biasa. Namun belum habis pertanyaan terhadap Sisno Adiwinoto, turunlah perintah Kapolri yang memutasi Jenderal Sisno menjadi Kapolda Sumatera Selatan dan menempatkan Irjen Polisi Mathius Salempang sebagai penggantinya.

Peradilan Upi
Kini persidangan kasus Upi memasuki babak baru, setelah materi keberatan (eksepsi) penasihat hukum Upi Asmaradhana ditolak Majelis Hakim. Kasus persidangan Upi memang sulit dimediasi karena kesakitan kedua pihak yang bertikai sudah telanjur meruyak. Irjen Sisno yang menuntut Upi secara hukum memang sukses mengirim mantan jurnalis Metro TV itu ke pengadilan.

Bukan itu saja. Buntut perseteruannya melawan Jenderal Sisno, membuat kontrak kerja Upi sebagai kontributor Metro TV Makassar tidak diperpanjang oleh kantor Metro TV di Jakarta. Pada sisi lain kesuksesan Sisno menyeret Upi ke pengadilan harus dibayar dengan pemutasian dirinya keluar dari Sulselbar dan diganti dengan pejabat baru. Ini bisa dibaca sebagai "kegagalan" mantan Kepala Divisi Humas Mabes Polri itu menjaga daerah Sulselbar akibat berkonflik -untuk urusan yang tidak perlu- dengan jurnalis di wilayah itu.

Sebaliknya Upi dengan segala prinsipnya tetap menjalani proses hukum di pengadilan Negeri Makassar. Dengan dukungan penuh rekan-rekan jurnalis dan anggota Koalisi NGO Makassar, Upi menganggap tindakannya memprotes ucapan Sisno, mengadukan Kepala Polisi itu ke Jakarta, dan menggalang koalisi jurnalis Makassar menolak kriminalisasi pers, bukanlah kejahatan.

Sebaliknya itu semua merupakan upayanya sebagai warga negara menegakkan konstitusi khususnya pasal 28F UUD 1945 tentang kebebasan menyampaikan pendapat.
Bagi Upi, ucapan seorang kapolda bukanlah sembarangan karena apa yang dikatakan Sisno bisa saja diikuti oleh warga masyarakat: Menuntut pers ke polisi setiap kali ada masalah atau keberatan terhadap pemberitaan pers.

Jika ucapan dan sikap Irjen Sisno itu diikuti oleh masyarakat dan dijadikan patokan umum kasus sengketa pers, maka kantor-kantor polisi dan ruang pengadilan di Makassar bisa-bisa kebanjiran kasus-kasus gugatan masyarakat terhadap berita pers, termasuk berita pers yang benar dan sudah sesuai standar jurnalistik.

Padahal UU Pers Nomor 40 tahun 1999 megamanatkan peran Dewan Pers sebagai mediator kasus sengketa pemberitaan pers. Artinya jika kasus ini terus diproses di pengadilan, kehadiran Dewan Pers sebagai saksi ahli sangatlah relevan.
Secara material kasus Upi memang bukan murni "pidana pers" mengingat posisi Upi yang bukan lagi wartawan. Tetapi kasus ini jelas merupakan kasus pencemaran nama baik (defamation) dan delik penistaan reputasi pejabat publik yang di berbagai negara maju telah dialihkan menjadi kasus perdata, bukan kasus pidana dengan hukuman penjara.

Hari-hari ke depan Majelis Pengadilan Negeri Makassar harus bekerja menuntaskan kasus pemfitnahan Kapolda Sulselbar oleh Upi Asmaradhana dan memutus kasus ini dengan seadil-adilnya. Salah satu aspek keadilan itu jika Majelis Hakim bersikap impartial, menggunakan hati nuraninya, dan tidak terkooptasi oleh kekuasaan (polisi).

Kasus pengadilan terhadap Upi ini murni masalah kebebasan berpendapat warga negara yang dijadikan perkara pidana oleh penguasa umum (kapolda) yang belakangan dipindahtugaskan ke daerah lain. Kasus ini merupakan ujian bagi Pengadilan Negeri Makassar apakah mereka berada di pihak yang membela konstitusi UUD 1945 atau berada di pihak yang ingin melangengkan kekuasaan umum yang cenderung anti kritik dan penguasa yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya.

Setelah penguasa umum (Kapolda Sisno) pergi, tepatnya "dipaksa" pergi oleh pimpinan institusinya, mestinya membuat Hakim Pengadilan Negeri Makassar lebih bebas dalam memutuskan sikapnya. Apalagi banyak suara menganggap kasus sengketa Upi melawan Jenderal Sisno itu bermuatan dendam pribadi yang tidak ada urusannya dengan kepentingan publik.

Pendapat di kalangan kejaksaan setempat malahan lebih ekstrem: "Kasus Upi melawan Sisno ini cenderung dipaksakan dan sebenarnya tidak layak masuk pengadilan".

Beda Pendapat Tak Perlu Diadili
Berbeda pendapat esensinya merupakan bagian dari kebebasan menyampaikan pendapatnya secara lisan maupun tulisan dari warga negara. Beda pendapat tentu tidak selalu menyenangkan. Sebagian pendapat biasanya saling bertentangan, tak jarang menyakitkan. Sedangkan fitnah diartikan sebagai informasi atau keterangan, lisan maupun tulisan, yang tidak berdasar atau tidak benar. Jika semua kasus beda pendapat warga dengan penguasa umum diadili sebagai fitnah, akan penuh sesaklah ruang sidang dengan perkara-perkara "fitnah" warga negara.

Lebih dari itu, demokrasi di negeri ini akan mengalami kemunduran karena para penguasanya-sipil maupun non-sipil- tidak suka dikritik, baik oleh pers maupun oleh warga negara. Padahal idiom terkenal dalam ilmu kekuasaan mengatakan : Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Pada titik ini, pers dan warga ikut menjaga kemungkinan terjadinya korupsi kekuasaan oleh pihak manapun, eksekutif maupun legislatif.

Yang lebih gawat, jika para hakim yang mewakili kekuasaan yudikatif, berkolaborasi dengan penguasa yang antikritik dan cenderung membelanya entah untuk kepentingan apa. Dalam kasus seperti ini, sudah sepatutnya pers ikut mengawasi lembaga peradilan dan mengabarkan reputasi para hakim, melengkapi tugas Komisi Yudisial (KY) yang telah diamanatkan undang-undang (*).

(opini ini dikutip dari TRIBUN TIMUR Selasa, 24 Maret 2009)

Komentar

David Pangemanan mengatakan…
INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung
di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh sesat terpuruk dalam kebejatan.
Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

Postingan Populer