JALAN MASIH PANJANG

Catatan Akhir Tahun 2008 tentang kebebasan Pers:

Quo Vadis Kebebasan Pers Indonesia
* upi asmaradhana

Kemerdekaan Pers sesungguhnya bukanlah persoalan pers semata-mata. Kemerdekaan Pers adalah hak warga negara yang berdaulat, yaitu hak untuk bebas mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, serta hak untuk memperoleh informasi (public right to know). Oleh sebab itu, gerakan penyadaran pentingnya kebebasan pers, menjadi usaha yang tidak boleh berhenti hanya dalam hitungan tahun.

SAAT ini, di berbagai negara di dunia, semua berlomba-lomba melakukan upaya perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalistik. Di Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Korea Selatan, dan Australia, bahkan telah memproklamirkan diri mereka, sebagai negara penganut politik hukum yang melindungi pers, dalam hal ini Politik Hukum Dekriminalisasi Pers. Yaitu penghapusan pasal-pasal penjeratan pasal-pasal kriminal bagi karya-karya jurnalistik.

Bahkan Uni Eropa, sudah memasukkan syarat, bahwa jika suatu negara berkeinginan bergabung ke Uni Eropa, maka negara tersebut tidak boleh mengkriminalkan pers.

Negara-negara berkembang, seperti India, Srilangka, Ghana, Uganda,Kroasia, Togo, dan Republik Afrika Tengah, telah menghapus ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik (Defamation), Penghinaan (Insult), Fitnah (Slander, Libel) dan kabar bohong ( False News) bagi karya jurnalistik yang dibuat dengan niat baik (in good faith) dan demi kepentingan umum (public interest), dan mengubahnya menjadi hukum perdata, dengan sanksi denda yang proporsional.

Di saat negara lain berlomba-lomba membebaskan jurnalis dari segala tuntutan pidana, termasuk Timor-Timur, yang dengan berani menetapkan pasal-pasal penghinaan bukan sebagai tindak pidana. Di negara kita, hiruk pikuk kebebasan itu juah dari harapan.

Bahkan di tahun ini, hampir setiap saat, para jurnalis harus berhadap-hadapan dengan pasal-pasal pidana yang siap mengancam kebebasan pers.

Dewan Pers, dalam lansiran di penghujung tahun 20008, telah membuat sebuah pernyataan yang menetapkan tahun 2008, merupakan tahun terburuk bagi kebebasan pers di tanah air, pasca reformasi. Dewan Pers. Menyatakan dalam tahun ini ada tiga jurnalis yang dipidanakan terkait tugas-tugas jurnalistik mereka. Itu belum termasuk berbagai kasus kekerasan, ancaman, dan tindakan fisik bagi para jurnalis yang tengah melakukan peliputan di lapangan.

Politik Hukum UU Pers Indonesia : Dekriminalisasi Pers

Jika menilik perjalanan panjang lahirnya UU Pers. Politik hukum yang dianut UU Pers No 40/1999 sebenarnya menolak kriminalisasi pers, dan menganut dekriminalisasi pers.

UU Pers, bahkan oleh para penyusunnya dianggap sebagai salah satu produk hukum pers yang paling baik, dalam sejarah pers di tanah air. Sayangnya, produk hukum yang dibuat saat reformasi ini,kini sering diabaikan.

Salah satunya, adalah penggunaan mekanisme hak jawab dan pemanfaatan peran dewan pers. Seringkali, bahkan oleh aparat hukum sekalipun yang kadang mengabaikan hal ini. Padahal dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, mekanisme peneyelesaian sengketa pers telah diatur dengan sangat baik.

Misalnya, pertama, kesalahan kata-kata diselesaikan dengan kata-kata (mekanisme hak jawab), bila media menolak melayanai hak jawab, maka sesuai dengan UU Pers No 40/1999 Pasal 18 ayat 2 media didenda Rp.500 juta. Kedua, pentingnya pemanfaatan peran Dewan Pers, sesuai Pasal 15 ayat 2 yang mengatur tentang fungsi dewan pers.

Ketiga, Kebijakan Presiden SBY yang disampaikan kepada Dewan Pers di Istana Negara pada 25 Januari 2005 : “penyelesaian masalah pers ditempuh pertama, dengan hak jawab; kedua, bila masih dispute diselesaikan dewan pers; ketiga, bila masih dispute, penyelasaian dengan jalur hukum tidak ditabukan, sepanjang fair, terbuka dan akuntabel.”

Artinya, sebenarnya di tingkat normatif,sudah sangat jelas tentang pemanfaatan mekanisme sengketa pers. Tapi kenyataanya khan tidak seperti itu, toh banyak fakta yang terjadi banyak pihak yang semena-mena mengabaikan pranata hukum pers itu sendiri.

Realitas Sulawesi Selatan

BENARkAH tahun ini merupakan tahun terburuk bagi dunia pers di tanah air? Dalam skala lokal, lansiran Dewan Pers ada benarnya. Bayangkan, sejak maret hingga Desember setidaknya, ada lima jurnalis yang dipanggil sebagai saksi terkait beritanya.

Pertama, pemanggilan Jumadi Mappanganro wartawan Tribun Timur, yang dipanggil polisi , terkait berita hilangnya dua mahasiswa Universitas Islam Negeri Alaudddin Makassar.

Kedua, Pemanggilan Erwin Bahar, Mukhkis Amans Hady Jurnalis Harian Fajar dan Andi Amriani Serta Andi Ichsan Pasinringi Wartawan Seputar Indonesia. Keempat jurnalis ini dipanggil sebagai saksi 12 Desember 2008, atas berita mereka tentang pernyataan Sisno Adiwinoto Kapolda`Sulselbar yang dimuat di Koran tersebut.

Bahkan hingga saat ini, proses pemeriksaan terhadap para jurnalis itu, masih terus dilakukan, termasuk dengan mendatangi kantor redaksi mereka.

Bagi jurnalis, tidak ada yang salah jika jurnalis diperiksa oleh polisi.Namun perlu digaris bawahi pemanggilan wartawan sebagai saksi atas berita mereka, merupakan sebuah intimidasi terhadap kebebasan pers itu sendiri.Yang pada akhirnya, membuat jurnalis tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi.

Dalam teori dan kebiasaan umum, berita sebenarnya adalah sebuah kesaksian. Kalaupun ada pemeriksaan yang harus dilakukan, jika itu menyangkut keamanan nasional dan rahasia negara.

Itu belum termasuk, sejumlah jurnalis yang harus mengalami tindak kekerasan, seperti yang dialami wartawan Sindo di daerah Bulukumba, yang dianiaya oleh aparat pemerintahan setempat. Belum lagi ancaman-ancaman yang datang dari kelompok massa, organisasi politik, suporter dan juga mahasiswa.

Lantas, apakah yang harus dipetik dari tahun 2008 ini,Jawabnya, jalan kebebasan pers itu masih panjang. Dan kita semua harus sadar, betapa pentingnya kita memperjuangkan kebebasan pers itu sendiri, khususnya bagi kaum jurnalis itu sendiri.

Kita harus bangun dari tidur panjang yang meninabobokan, bahwa pers sudah bebas.Faktanya, pers di tanah air sangat tidak bebas. Baik dari segi internal dan eksternal.Dari segi internal, bagaimana media harus berjibaku dengan pemodal, yang terus menerus menjadi lebih kuat, sehingga keberhasilan media tidak lagi diukur pada seberapa besar pengaruh berita mereka di masyarakat, tapi diukur pada tingkat produksi mereka, pada rating dan iklan serta tiras.

Di kalangan eksternal apalagi, media saat ini harus berhadapan dengan berbagai regulasi baru, dan pihak-pihak yang tidak menginginkan pers menjalankan fungsinya sebagai pengawal reformasi.

Pada akhrinya, kita memang akan selalu “berkelahi” dengan kondisi-kondisi itu, dengan resiko yang tidak kecil. Namun mengutip pernyataan Ketua Dewan Pers Prof DR Ichlasul Amal. Masyarakat Pers, tentu tidak dapat mencegah masyarakat atau penegak hukum yang tidak mau menggunakan mekanisme yang disediakan UU Pers. Namun, sekalipun penggugat itu menang dalam proses hukum, tetap akan dicap sebagai orang yang tidak memiliki kemauan baik, sebab motif gugatannya bukan untuk mencari kebenaran melainkan untuk membunuh kebebasan pers dan demokrasi.

# Disarikan pada acara Ekspose Akhir Tahun dan Evaluasi Potret Kebebasan Pers/Media Penyiaran Dalam Perspektif Demokrasi KPID Sulsel 31 Desember 2008.

Komentar

Postingan Populer