HARI YANG ANEH

Kita mau mati sebagai pahlawan atau hidup lama sebagai penjahat?


SOSOK mata itu, masih sinis sampai sekarang. Entah kenapa. Saya sendiri tidak habis pikir, apa yang ada dibenaknya. Dulu, ketika ia sekarat,saya membelanya habis-habisan, agar ia bisa tetap hidup.

Tapi saya tetap tidak pernah mempersoalkannya. Malah, saya selalu berdoa untuknya, agar kelak ia bisa memahami kekeliruannya.

Dulu saya berpikir, mungkin sahabat saya itu hanya iri. Tapi ketika segala sesuatu yang saya miliki hilang, toh tatap mata aneh itu tetap juga tidak berpindah dari bola matanya.

Dan malam ini, saya kembali bertemu dengannya. Tentu dengan status yang berbeda. Dia masih wartawan, sedangkan saya tidak lagi. Sekarang saya menganggur alias tidak punya media lagi. Satu-satunya pekerjaan saya, adalah menulis buku dan mengajar di kampus. Jadi,saya berharap dengan segala kekurangan status yang saya miliki di banding dirinya, mungkin ia berubah. paling tidak bersikap empati.

Saya memang punya sekolah wartawan, tapi sekolah ini, seperti mottonya, adalah kampus perjuangan. Jangankan dapat gaji, semuanya masih dalam subsidi sendiri. Artinya jika dulu, sebagian transferan gaji bisa dibagi ke kampus, kali ini, kampus ini benar-benar menguras kocek tabungan. Jadi, seharusnya, sahabat saya itu, menghentikan tatapan sinisnya.

Tapi aneh bin nyata, Sahabatku itu, tetap saja sinis kepadaku.

******

Senin pagi (13/10), orang tua saya menelpon. Dengan suara parau, dari balik telpon ia memintaku berhenti menjadi aktifis. Rupanya ibu, baru saja membaca koran yang terbitan lama. "Kamu itu maunya berkelahi saja. Masa seumur hidup hanya berkelahi dengan waktu," katanya.Tak lupa, ibu bilang, kalau ia baru saja membaca koran terbitan september, yang dibawa sepupu saya yang juga wartawan lokal di kampung.

Sorenya, saya bertemu dengan salah seorang perwira polisi. Dengan nada membujuk ia meminta menghentikan perlawanan koalisi. Saya dianjurkan pula minta maaf, agar penyidikan kasus saya selesai. Maklum saat ini, saya masih sebatas saksi atas kasus fitnah dan penghasutan.

Lalu malamnya, saya melihat sosok yang saya sayangi, yang kemudian berpaling bercengkerama di balik sana. Tak cukup hanya itu,entah kenapa mobilku tiba-tiba mogok di sungai saddang.

Hari senin yang aneh. Gumamku.

Dan Jumat ini (17/10), saya bertemu dengan sahabatku yang sinis itu. Lalu saya mengajaknya berdialog.

"Apa salahku sebenarnya," kataku.
"Tidak ada.Kenapakah," sergahnya.
"Kenapa kamu sinis," balikku.

Dia hanya diam.
dan kemudian berlalu. Lalu hilang....

*****
Sepeninggal sahabat saya itu, malam ini saya mencoba merangkai jawaban saya kepada momen Senin yang aneh itu kemarin.

Kepada ibuku, Bu, saya ini bukan aktifis, saya jurnalis. Kebetulan saja, Tuhan menitipkan keberanian kepada saya, untuk membela apa yang saya yakini benar. Saya juga hanya melanjutkan pesan ibu, untuk selalu jujur pada diri sendiri, berkata benar jika itu benar dan salah itu salah. "Jadi ibu jangan anggap kejujuran hati itu adalah pemberontakan.Saya hanya belajar menjadi anak ibu," kataku.

Kalaupun kejujuran untuk berbicara pada hati nurani itu. kemudian membawa saya tidak punya kerja, diteror, dipenjara atau bahkan dibunuh ya itu resiko yang harus pula saya tanggung.Jadi, Bu, saya sedang belajar hidup lurus. "Ini bukan cara-cara aktifis.Bukan pula cara-cara mahasiswa. Ini cara-cara jujur. Apa yang salah jika jujur," kataku.

Untungnya ibu hanya diam,lalu menutup gagang telpon. Ia hanya berpesan, agar saya hati-hati.

Lalu, kepada perwira polisi itu, saya juga bicara. "Secara personal saya sudah memaafkan itu Kapolda. Walapun secara individu saya sudah disakiti. Saya sudah kehilangan pekerjaan, teror, dan saya juga sudah diperiksa selama enam jam di Polda. Saya tidak pernah dendam," kataku.

Tapi sebagai jurnalis dan profesi itu tidak akan ada kata maaf, sepanjang Kapolda tidak berhenti melakukan kampanye kriminalisasi pers, dan mendiskreditkan peran jurnalis di Sulsel.

Perlawanan Koalisi, bukan perlawanan personal saya. Bukan perjuangan saya sendiri. Ini perlawanan kepentingan jurnalis di Makassar, yang melindungi kepentingan masyarakat, agar publik, termasuk bapak memperoleh berita yang jujur, fair, dan bebas dari segala intervensi.

"Kalau wartawan tidak bebas, mana mungkin bisa kritis,"lanjutku.

Perjuangan ini, seperti yang kita lihat juga penuh dengan intrik. Ada yang bilang saya cari popularitas, aktualisasi yang terlambat, cari penghargaan, dan macam-macam sebutan yang tak pantas. Bahkan, ada juga teman-teman yang berkhianat, kemudian menunggangi koalisi, dengan mencari keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Tapi, saya tidak pernah menyalahkan siapa saja. Terus terang saya belajar berani sendiri, belajar berani miskin, untuk memperjuangkan sebuah nilai, dan kepentingan masyarakat banyak. Juga belajar hidup punya makna.Jadi, jika bertanya sampai kapan gerakan koalisi berjalan, ya sampai titik darah penghabisanlah, kataku.

"Jadi salah alamat kalau perjuangan ini hanya perjuangan seorang upi. Ini perjuangan universal, dan tidak ada tendensi apapun di balik gerakan ini, semata-mata memperjuangkan kebebasan para jurnalis, "kataku.

*****

Sendiri, dalam kesunyian atau sendiri dalam keramaian, itu kini saya jalani. Seperti memaknai kata-kata bijak. Berani menerima resiko. Kata Dosen saya, Aswar Hasan,:... setiap revolusi selalu menyisakan cerita-cerita miris dan heroik.Setiap pergerakan selalu melahirkan pecundang, pengkhianat, dan juga korban. Tinggal bagaimana kita bisa memberinya makna...

Dalam kesendirian yang tak terbatas. Di saat orang-orang pergi menjauh dan kehidupan menjadi satir, anehnya saya menikmatinya. Saya justru bahagia saat ini. Saya seperti anak kecil yang berjalan di atas awan, bebas. Dan kali ini, saya akhirnya punya jawaban tentang sahabatku itu, tentang hari senin yang aneh itu.

Hidup itu sesungguhnya indah. Lalu kenapa kita tidak memberinya makna.Sungguh betapa saya sangat mencintai hidup ini.Terima kasih Tuhan.


makassar, pondok darussalam
malam 17 oktober 2008
pukul 21.34 wita
kepada setiap orang yang telah berpaling

Komentar

Anonim mengatakan…
tukeran link yukk

Postingan Populer