SENDIRI

SEKALI lagi ini bukan persoalan personal.Ini persoalan ideologi.Bahwa siapa saja, yang melakukan kriminalisasi pers,tetap harus dilawan.Tidak pandang bulu tentunya.Dan seharusnya menjadi catatan penting, akan betapa pentingnya kebebasan pers dijaga oleh para jurnalis itu sendiri.


Kriminalisasi pers,pada hakekatnya sebuah pemberangusan kebebasan pers. Pada akhirnya, pers tidak akan bisa melakukan fungsinya sebagai salah satu pilar keempat demokrasi.Jadi ini bukan perjuangan personal,emosional, atau berlebih-lebihan. Persoalan ini, sudah sangat dikaji, dengan matang, proporsional, dan tentu saja mempertimbangkan aspek ideologinya.

Jadi nawaitunya, atas asbabul nuzulnya, adalah semata-mata memperjuangkan kebebasan pers, agar para wartawan bisa bekerja sesuai tugasnya,melakukan fungsi kritik dan kontrol. Lainnya tidak ada.

Penjelasan inilah yang saya sampaikan di Rapat Pengurus AJI Kota Makassar, Senin 9 Juni 2008 hari ini.Kalaupun pada akhirnya pengurus tidak mengambil sikap, saya hendak bagaimana lagi. Saya mencoba memahaminya dengan sebaik-baiknya, dan berharap pengurus suatu saat memahaminya juga.

AJI adalah tempat organisasi profesi saya bernaung. Saya secara resmi sudah bergabung dengan organisasi ini sejak 1996 silam. Sebelumnya, sejak organisasi ini didirikan 1994 silam, saya sebagai mahasiswa juga sudah berpartisipasi dalam berbagai kegiatan AJI, meski itu hanya sebatas menghadiri rapat persiapan pembetukan AJI Makassar, atau bermain petak umpet dengan aparat TNI dan Polri yang saat itu diotaki Andi Wahyudin Jalil dkk. Maklum saat itu pers Indonesia dalam pengawasan rezim Orde Baru.Jadi saya masih ingat persis bagaimana perjuangan AJI Makassar, termasuk para jurnalis-jurnalis di kota ini.

Saya selalu setia di organisasi ini, dari masa ke masa, saya terlibat dalam AJI makassar, sejak dipimpin ketua persiapan Andi Wahyudin Jalil, Ketua pertama Sukriansyah S Latief, Lalu Nasru Alam Aziz, Abdul Haerah HR, Muannas, dan Andi Fadli.Saking setianya, saya pernah mendemo pengurus AJI Makassar, terkait dugaan keterlibatan sejumlah anggota AJI makassar, dalam kasus PDAM gate Jilid I dan Jilid II.

Dan hari ini,ketika saya datang di AJI, saya merasa tidak berada di rumah sendiri. Terlalu banyak prasangka-prasangka di AJI. Tapi saya tidak menyalahkan kondisi ini.Mungkin zamannya memang berbeda. Tapi meski demikian, saya tetap tidak akan pindah dari AJI. Bagi saya, roh AJI masih akan tetap abadi selamanya.

Abadi Ya. Tetap abadi. Makanya ketika perjuangan ini masih ditanggapi secara abu-abu, saya hanya bisa memakluminya.

Tapi kalaupun ada yang mungkin begitu melukai jiwa kali ini,dan sangat sulit untuk difahami, ketika orang terdekatkupun beranjak meninggalkan,hanya karena saya membela kebebasan pers itu sendiri. Seperti senja, yang beranjak malam, perlahan tapi pasti cahayanya memudar lalu hilang di telan malam.

Tapi sepertinya mereka tidak tahu, meski AJI tidak lagi seperti dulu, para jurnalis-jurnalis lain tidak segarang dulu lagi, dan kekasih pun berpaling meninggalkanku, mereka lupa, esok hari masih ada Matahari.Dan hanya kiamat yang bisa menghancurkan matahari.Dan tampaknya perjuangan ini akan masih panjang. Kita masih harus berkelahi dengan waktu itu sendiri!

Makassar, 9 Juni 2008

Tulisan ini saya didedikasikan buat teman- teman yang masih setia di barisan.Tetaplah bertahan hingga batas itu sendiri.

Komentar

Postingan Populer