KAMPUS HITAM PUTIH

Di kampus ini...kelak lahir jurnalis-jurnalis tangguh,profesional, dan mengabdi kepada publik.Kampus Hitam Putih Makassar 31 Maret 2008

INI SPANDUK yang saya pajang khusus di pintu masuk Kampus LPTV Indonesia. Kata-kata ini, menjadi roh kampus yang didirikan untuk melahirkan para jurnalis yang punya visi.

31 maret lalu,tepatnya pukul 13.20 WITA kampus yang bernama Lembaga Pendidikan Televisi Indonesia itu,akhirnya resmi dimulai.Seragamnya hitam-hitam. Dari jauh saya selalu melirik mahasiswa-mahasiswaku. Dalam hatiku, bergemuruh dan berdoa, Ya tuhan jadikanlah mereka sebagai jurnalis yang bermoral.

Hari itu, sebenarnya tidak ada acara mewah di kampus,sebagaimana lazimnya peresmian kampus baru. Kampus yang kusewa melalui kebaikan hati Kak Aidir Amin Daud .Kalaupun ada yang rame,pada kampus berjuluk Kampus Hitam Putih ini, adalah tak lebih karena Penjabat Gubernur Sulsel Ahmad Tanri Bali Lamo, yang datang memberikan kuliah perdana.

Semua pada bersemangat. Mahasiswa-mahasiswaku yang berjumlah 29 orang itu,bersama staf dan dosen pun tampak sumringah.Ketika mereka berfoto bersama di depan kampus,sembari menenteng sebuah spanduk yang menjadi roh kampus ini. “…Di kampus ini, kelak lahir jurnalis-jurnalis tangguh, professional, dan berdedikasi,yang mengabdi kepada publik….”. Sejujurnya saya merasa plong.Makanya, saya benar-benar terlelap setelahnya. Usai bangun, sms itu saya balas singkat. “Kampus itu adalah salah satu bentuk perlawanan melawan tirani pragmatisme para jurnalis,” tulisku.

Hampir sepuluh tahun terakhir, kita selalu menjadi provokator, bagi para calon jurnalis-jurnalis di sejumlah kota. Keluar masuk kampus, entah sebagai dosen tamu,dosen luar biasa, instruktur,fasilitator, sampai pemateri, panitia, selalu kita jalani. Tentu saja saya berharap ada virus-virus ideologi yang bisa disuntikkan ke otak dan hati mereka.

Tapi belakangan saya menyadari jika kondisi itu belumlah cukup,untuk membentuk shaf perlawanan.Terlalu banyak godaan, yang membuat para alumni baik mahasiswa-mahasiswa di kampus, ataupun di pelatihan-pelatihan singkat itu.menjadi mudah kocar-kacir oleh tuntutan hidup dan pragmatisme.Kalaupun ada yang bertahan,bisa dihitung dengan jari.Tapi lamat-lamat, satu persatu mereka meninggalkan shaf,dan membentuk shaf baru,atau paling miris tak punya bentuk apapun.Larut seiring, perjalanan waktu.

Lalu, tercetuslah cita-cita, mendirikan kampus sendiri. Kampus yang didesain sejak dini,yang kurikulumnya, menitikberatkan pada moralitas, etika, dan tentu saja keberpihakan. Saya berpikir jika ini gagal lagi,entah bagaimana lagi,kita bisa mendapatkan jurnalis-jurnalis yang tahan banting.Dan kampus ini, dijadikan sebagai acuan itu. Kelak mereka bisa terlahir sebagai jurnalis yang punya visi.Punya misi, dan tentu saja punya sikap.

Tentu tidak mudah mendirikan kampus ini.Selain menguras tabungan tentunya,juga menguras pikiran,tenaga dan waktu. Tapi seperti yang dicita-citakannya, biarlah semua itu menjadi sumbagsih kecil kita buat para penerus kita kelak.Anggap saja, ini sebagai balas atas keteledoran, kesalahan-kesalahan,dan ketidakberadayaan kita pada situasi yang serba canggung ini.

Dan yang lebih pokok, adalah perlawanan itu tampaknya tidak akan berakhir sampai disini. Kita semakin perlu melakukan upaya sistematis untuk melawan tirani pragmatisme. Dan ketika teman saya itu kembali mengirim sms, sampai kapan harus melawan? “Sampai titik darah penghabisan,” kataku.

Makassar, 3 april 2008
Selepas magrib di kantor metrotv

Komentar

fachrie230 mengatakan…
setidaknya back song bisa menyemangati perjuangan Anda...


Bravo

Postingan Populer