SIKAP BERPIHAK DAN TIDAK BERPIHAK JURNALIS (SEBUAH MONOLOG TENTANG KEBERPIHAKAN)

….pers bukanlah lembaga suci, ia bisa bikin kesalahan. Dan penerbit serta wartawan bukan manusia yang sepi ing pamrih…pemerintah tentu senang bila pers ketakutan.Pers jadi jinak dan membebek. Yang tidak disadari ialah bahwa dari orang yang ketakutan, Tuan tak akan mendengar ketulusan,melainkan suatu distorsi. Tuan tak akan tahu apakah pujian si takut merupakan pujian yang benar atau Cuma penjilatan. Dalam ketakutan, pers bukan saja sebuah lembaga yang bisa bikin salah, tapi sebuah lembaga yang sengaja salah. Arthur Miller pernah mengatakan, sebuah surat kabar yang baik adalah sebuah bangsa yang berbicara kepada dirinya sendiri.Kita bisa mengatakan sebuah surat kabar yang ketakutan adalah sebuah bangsa yang berbohong kepada dirinya sendiri…..

Tulisan Goenawan Muhammad (GM)
Tempo 22 Juni 1991


Apa yang ditulis GM memberi gambaran kepada kita bagaimana tidak baiknya, bila pers bukan lagi sebuah lembaga yang bebas. Gambaran ketidakbebasan pers yang diberikan GM adalah yang berkaitan dengan hubungan pers dengan pemerintah. Jika pers sudah tidak bebas dan menjadi takut,maka ia akan menjadi penjelmaan dari kemunafikan sebuah bangsa.

Tapi itu cerita GM, dimana musuh utama kebebasan seperti yang ditulis para pakar komunikasi seperti Wilbur Schramm, adalah pemerintah. Saat ini setelah era reformasi berjalan, musuh utama kebebasan pers itu sendiri, adalah sesungguhnya para kaum kapital, dalam hal ini bisa saja pemasang iklan, pemilik modal media, dan terakhir rating.

Tapi mari kita coba sedikit berteori. Idealnya memang pers harus bebas dari rasa takut sekaligus bebas dari keberpihakan. Lalu apakah pers harus bebas dari keberpihakan manapun? Jawabnya Ya! Pers harus tidak memihak kepada siapapun. Pers tidak boleh memihak kepada pemerintah, kepada rakyat biasa, kepada pengusaha dalam hal ini pemodal,dan termasuk kepada mereka yang sudah identik dengan “kebenaran”.

Namun sesuai prinsip keberpihakan pers, yang telah diajarkan dibangku kuliah, ditegaskan bahwa jurnalis harus berpihak kepada kebenaran. Jika kebenaran itu ada di pihak rakyat maka jurnalis harus berada disitu. Jika kebenaran berada di pihak penguasa,sesungguhnya jurnalis harus tetap menyuarakan kebenaran itu.

Persoalannya mungkin, jika kebenaran berada di pihak penguasa atau sekelompok orang mapan, apakah pers harus mengabaikan keberpihakan kepada rakyat yang selalu identik dengan dirinya? Harian Kompas menyebut dirinya sebagai hati nurani rakyat, Media Indonesia menyatakan dirinya sebagai pembawa suara rakyat. Lalu apakah suatu ketika keduanya harus meninggalkan rakyat?

Ukuran kebenaran, kadang bukan sesuatu yang kasat mata. Banyak kasus yang menjadi sulit diposisikan sebagai hitam atau putih. Ketika kasus Poso diramaikan dengan eksekusi Tibo cs, sejumlah kalangan mendukungnya tapi para humanis serta aktifis HAM menentangnya. Manakah sesunggunya yang berada di pihak yang benar?
Sikap manakah yang sesungguhnya mewakili kepentingan rakyat banyak? Bagaimana para keluarga korban pembantaian Tibo Cs, bagaimanakah pers harus bersikap?manakah yang harus disuarakan pers? Rakyat yang selama ini diteror oleh Tibo Cs atau rakyat yang tiba-tiba harus kehilangan ayah, sauadara atau komunitas Tibo Cs?

Di masa lalu, keberpihakan pers kadang diidentikkan dengan ideologi. Apalagi setelah sejumlah pers yang dikenal independen dibreidel Presiden Soekarno, seperti PEDOMAN, INDONESIA RAYA DAN ABADI. Menjelang tahun 1966, di Indonesia dikenal beberapa kelompok pers.

Pers Kelompok Pertama,yakni pers yang bernafas agama di anataranya DUTA MASYARAKAT yang berafiliasi ke NU, Sinar Harapan yang diterbitkan Parkindo, Kompas (1965) menjadi corong Partai Katolik

Pers Kelompok Kedua, yakni pers komunis diantaranya: Harian Rakyat, Bintang Timur, Huo Chi Pao dan Bintang Minggu semuanya terbit di Jakarta. Pers komunis ini juga ada di daerah, Misalnya Gema Massa di Semarang, Gotong Royong di Medan dan Suara Khatulistiwa di Pontianak.

Pers Kelompok Tiga , yakni anti komunias, seperti Merdeka (PNI), Berita Indonesia (Murba) Warta Berita. Di daerah ada juga media seperti Waspada Medan, Pikiran Rakyat Bandung, Suara Merdeka Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogjakarta, dan Pedoman Rakyat di Makassar.

Di bulan Februari 1965 Soekarno, membreidel sejumlah koran ini, Pihak angkatan darat setelah pembreidelan itu menerbitkan dua harian penting untuk melawan keberadaan pers komunis saat itu. Harian yang diterbitkan adalah Berita Yudha (9 februari 1965) dipimpin Kapuspenad Brigjen Ibu Subroto dan Angkatan Bersenjata (15 Maret 1965) dipimpin Kapuspen Staf Abri Mayjen Sugandhi.

Sejak 1 oktober 1965, semua pers komunis dilarang terbit.Pada masa orde baru dan praktis setelah tahun 1967 pers bebas mulai tampil. Terbitlah kembali pers kritis: Nusantara pada maret 1967, Indonesia Raya Oktober 1968, Pedoman Nopember 1968 dan Abadi Desember 1969

Tahun 1967 hingga 1973, beberapa kalangan pers seperti menikmati kebebasan dan keindependenannya. Tidak tergantung kepada pihak manapun juga. Keberpihakannya adalah kepada kebenaran dan perjuangan untuk kepentingan rakyat. Ibnu Sutowo Dirut Pertamina masa itu akhirnya digoyang. Beberapa jenderal yang dekat dengan kepemimpinan nasional ikut dikritik.

Tanggal 2 Januari 1973, Pangkopkantib Jenderal Soemitro mengcabut SIT Sinar Harapan untuk sementara. Seminggu setelah itu, Soemitro menegur keras Pos Kota, Kami dan Merdeka.

Setelah peristiwa Malari, 12 koran dibreidel pemerintah. Diantaranya Nusantara, Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, Kami, The Jakarta Times, semuanya terbit di Jakarta. Sementara di daerah yang dibreidel ialah Suluh Berita Surabaya, dan Pos Indonesia di Makassar.

Praktis setelah peristia Malari, seluruh pers kembali tiarap, dan membaca, bahwa koreidor kebebasan mereka kembali dipersempit. Namun sikap kritis tetap tampil satu dua dari beberapa pers Indonesia, setelah pemberoidelan massal di masa orde lama dan awal orde baru terhahap pers komunis dan pasca malari, pers indonesia mulai meninggalkan keberpihaknnya kepada rakyat banyak jika harus berhadapan dengan penguasa. Meski demikian, satu dua koran tetap terpenggal dalam perjalana jaman.diantaranya Sinar Harapan, dan Prioritas. Kasus Tabloid Monitor mungkin tampil dalam kasus lain. Gong terakhir yang benar-benar mengisyarakatkan sempitnya koridor kebebasan adalah diberangusnya Tempo, Editor, dan Detik.

Tahun 1998, setelah Habibie membuka kran demokrasi,setelah rezim Soerharto Tumbang, media massa di Indonesia tumbuh bak jamur di musim penghujan. Bukan saja media cetak, tapi televis radio dan internet berkembang pesat.Televisi misalnya, dari hanya TVRI kini udara Indonesia sudah dipenuhi RCTI, SCTV, TPI, Indosiar, anteve, Trans 7, Trans TV, lativi, Metrotv, dan sejumlah tv lokal di berbagai daerah nusantara.


Pertumbuhan ini juga malah dibarengi dengan kebebasan yang kalau boleh disebutkan over load. Hampir semua media massa, kecuali media yang platform keberpihakan yang jelas, memiliki keberpihakan bukan lagi pada rakyat banyak tapi pada kapital.Kondisi ini diperparah dengan banyak kalangan pebisnis yang mendirikan media massa. Jadilah media masa saat ini menjadi corong dunia kapitalisme.Pers semata-mata berpihak kepada para pemilik modal, kepada siapa saja yang mampu memberikan iklan dan gaji-gaji para jurnalis.

Kasus kasus di atas,memperlihatkan kepada kita bahwa padasetiap kurun waktu,pers selalu melakukan pemihakan, tergantung zaman dimana pers itu hidup dan berkembang. Lalu keberpihakan yang bagaimanakah yang idealnya harus dimiliki pers?

Pada dasarnya pers harus berpihak kepada kebenaran. Lebih baik lagi jika kebenaran itu menyangkut kepentingan orang banyak, rakyat banyak, si kecil dan mereka yang tertindas. Pers harus berpihak kepada upaya perjuangan keadilan, penegakan hukum,penegakan hak asasi, kemuliaan martabat dan kebebasan manusia.

Setiap saat jurnalis harus bertanya kepada nuraninya. Apakah ia bekerja untuk kepentingan orang banyak atau ia berlindung di balik kepentingan orang banyak. Ia juga harus bertanya, apakah keberpihakannya kepada` satu sisi tidak melukai sisi yang lainnya dan mengabaikan hak-hak kemanusiaan seseorang?

Pekerjaan di dunia pers bukanlah sesuatu yang mudah.Arogansi seorang jurnalis kadang telah menenggelamkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan seseorang atau pihak lain. Seseorang jurnalis bisa saja menjadi reporter yang handal dalam menghunt berita, piawai dalam menuliskan dan melaporkannya, entah ia sebagai jurnalis cetak, radio,tv dan online, tetapi apakah ia telah berpihak kepada sesuatu yang benar*********************????????


(tulisan ini adalah refleksi dari sebuah tulisan Tanya berTanda Seru Doc 9/9/2007)

Komentar

Postingan Populer