BERKACA PADA BENCANA MOROWALI

SUDAH hampir sebulan, bencana banjir yang disertai longsor di sejumlah desa di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah berlalu.

Sejak peristiwa banjir, yang terjadi dalam rentang waktu 16-22 Juli lalu, laporan Satkorlak Bencana di Kecamatan Baturube, Senin (20/8) melansir sedikitnya sudah 78 orang yang dinyatakan meninggal, dan puluhan lainnya yang hilang. Belum termasuk korban luka-luka yang saat ini sebagian besar di evakuasi dari Desa Baturube ke Kolonodale, Sulawesi Tengah.

Dari 18 Desa yang terkena bencana, enam merupakan daerah terparah. Keenam daerah yang rata dengan lumpur dan banjir, adalah Desa Ueruru, Desaoba, Desa Tambarobone, Desa Lemo, Desa Taronggo, Desa Kolo Atas, dan Desa Baturube.

Dua desa, yaitu Desa Ueruru dan Desa Boba, yang menyumbang jumlah korban jiwa terbanyak sebanyak 54 orang,malah mempunyai potensi longsor susulan,akibat pergeseran lumpur dari atas bukit,yang saat ini belum juga berhenti.

Hujan dan badai, disertai gelombang laut besar hingga kini, masih terus mengancam para pengungsi dan korban yang masih bertahan di posko-posko pengungsian.Bahkan distribusi bantuan pun hingga kini, belum merata dan menyentuh korban yang sebenarnya berada di pelosok-pelosok terjauh.

Sejumlah desa tersebut hingga kini, sebagian diantaranya malah belum bisa ditembus jalur darat,bahkan banyak warga yang sebagian besar adalah suku terasing---suku wana—hingga kin masih tertahan di atas pegunungan.Terperangkap dalam cuaca yang dingin dan minimnya makanan serta obat-obatan.

Sementara data pengungsi hingga saat ini masih tersebar di sejumlah kecamatan, yaitu
Kecamatan Bungku Utara, 268 kk atau 1039 jiwa, Kecamatan Mamosalato 283 kk atau 1163 jiwa, Kecamatan Witaponda 20 Jiwa, Kecamatan Petasia 735 Jiwa, Kecamatan ungku Barat 22 Jiwa.

Lalu di mana kepedulian bangsa ini?

Faktanya, sungguh miris. Kepedulian kita akan nasib saudara-saudara kita di Morowali, sungguh berada di bawah titik nadir.Salah satu indikator untuk mengukur tingkat partisipasi dan kepedulian adalah media massa.

Pakar komunikasi Dennis Mq Quail, menuliskan jika ingin melihat respon suatu komunitas lihatlaah medianya. Media dianggap sebagai cermin masyarakat. Dan jika kita melakukan pengamatan Morowali harus diakui bencana Morowali jauh dari hiruk pikuk kepedulian.

Media massa kita, entah media elektronik seperti Televisi, Radio, Internet, Surat Kabar di saat bersamaan malah lebih berjibaku memberitakan Pilkada DKI Jakarta. Bahkan sebagian di antara media nasional kita, menjadikan Pilkada DKI sebagai berita utama,sementara porsi berita tentang korban Morowali hanya menjadi berita-berita sisipan, bahkan terabaikan.

Ironinya, media massa kita dengan centang perenang lebih asyik mempertontonkan kepada masyarakat morowali, tentang bagaimana caranya para wartawan mereka, bermain bola, makan bareng dengan para kandidat gubernur dan wakil gubernur.Dan di saat bersamaan pula, ratusan bahkaan ribuan korban menunggu bantuan, kelaparan dan kedinginan.


Bencana Morowali tidak lebih Seksi untuk Iklan dan Politik

Mungkin karena sebagian korban , adalah suku terasing, yang tidak punya daya jual untuk menarik iklan. Ataukah karena memang tidak cukup seksi untuk dijadikan komoditas politik.

Media massa kita memang sungguh memperlakukan Morowali secara tidak fair. Bayangkan saja, sejak banjir, longsor dan hantaman gelombang laut menerjang Morowali,baru empat hari kemudian atau tgl 26 juli media massa menempatkannya sebagai menu utama.

Bandingkan dengan kasus-kasus seperti Bencana Tsunami Aceh, Gempa di Jogja, Rencana letusan Gunung Merapi.Hanya dalam hitungan jam, peristiwa ini dengan menggemuruh di seantero jagad nuasantara.

Dalam hitungan jam pula, setiap media massa, beramai-ramai membuat ulasan dan dengan serta menghidupkan pundi amal.Sumbangan pun kalau perlu diantar dengan ramai-ramai oleh setiap media,dan melakukan posko bencana sendiri.

Dan dalam hitungan hari, Para Menteri, Pejabat pejabat, bahkan Presiden kalau perlu bermalam di lokasi bencana. Coba bandingkan dengan Morowali, yang hanya sekali dikunjungi Menkokesra. Itupun kunjungannya hanya satu jam saja.

Kabar dari desa-desa di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali dan sekitarnya, bahkan hingga kini, malah sudah terlupakan oleh berita kemenangan Fauzi Bowo dan Prijanto.Padahal, saat ini masih puluhan jiwa orang yang dinyatakan hilang. Kini Morowali sudah “nyaris” terlupakan dalam peta media massa kita.


Derita dan jeritan saudara-saudara kita di daerah tersebut, seolah-olah hilang di telan bumi. Hiruk pikuk tangisan korban, dan tatapan mata sayu menanti bantuan, hanyalah seperti mimpi di siang bolong. Lalu dimanakah kepedulian bangsa ini?????

(tulisan ini disarikan dari hasil liputan Bencana Banjir Morowali Sulawesi Tengah, 26 juli hingga 8 agustus 2007 lalu)

Komentar

Postingan Populer