Belajar dari Kasus Pencemaran Nama Baik Bupati Pangkep
HAMPIR dua pekan ini, sejak 4 Februari 2013, mata publik
tertuju ke Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Kasus penangkapan dan penahanan
Guru SMP Negeri 3 Ma’rang Pangkep, karena disangka melakukan pencemaran nama
baik Bupati Pangkep, Syamsuddin Hamid, menyentak kesadaran kita semua.
Budiman, Guru SMP di
Pangkep, harus mendekam di tahanan Polres Pangkep, dengan sangkaan melanggar
Pasal 27 ayat 3 UU RI Nomer 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi
Elektronik.
Pak Guru Budiman
dituduh menghina Bupati Pangkep Syamsuddin A Hamid melalui media social facebook.
Di media sosial buatan Mark Zuckerberg, Budiman menuliskan pendapatnya, setelah
membaca sebuah postingan. Tulisannya adalah 'Bupati Pangkep sekarang tidak
sama dengan bupati sebelumnya. Bupati sekarang paling bodoh di Indonesia.'
Gara-gara tulisan itulah, Budiman harus menerima kenyataan pahit, dipenjara, dan hingga kini masih berada dalam bayang-bayang ancaman dan tekanan. Buktinya, mesti polisi sudah menangguhkan penahanan atas dirinya, ia memilih bertahan di kantor polisi lantaran merasa tidak aman, setelah ia mendapat ancaman dari para pendukung Bupati Pangkep.
Gara-gara tulisan itulah, Budiman harus menerima kenyataan pahit, dipenjara, dan hingga kini masih berada dalam bayang-bayang ancaman dan tekanan. Buktinya, mesti polisi sudah menangguhkan penahanan atas dirinya, ia memilih bertahan di kantor polisi lantaran merasa tidak aman, setelah ia mendapat ancaman dari para pendukung Bupati Pangkep.
Hingga kini, kehidupan Budiman berubah total. Ia tidak lagi
bisa bebas keluar rumah, apalagi melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai
guru sekolah.Kehidupan sosialnya telah terampas.
Kondisi ini diperburuk lagi
dengan sikap Bupati Pangkep dan polisi setempat yang tidak memberikan jaminan
keamanan, kepada Pak Guru Budiman.
Seperti dikutip di media ini,
Bupati Syamsuddin Hamid, mengatakan, Ia telah memaafkan Budiman, hanya saja ia
tidak berani menjamin warganya yang marah kepada Budiman.
Sejak awal, ketika kasus ini
mencuat, sejumlah elemen masyarakat sipil, organisasi jurnalis, akademisi,
penggiat HAM langsung bereaksi, dan merespon keras penahanan yang disusul teror
dan ancaman terhadap Budiman.
Paradoks Demokrasi
Apa yang dialami Guru
Budiman, adalah sebuah bentuk dari pembungkaman kebebasan berekspresi yang
sesungguhnya dilindungi oleh konstitusi dan deklarasi hak asasi manusia.
Kondisi ini tentu sangat
berbahaya jika dibiarkan, sebab akan menimbulkan efek yang luar biasa bagi
iklim berdemokrasi di Pangkep.
Jika ini dibiarkan, akan
menjadi preseden buruk bagi kehidupan sosial disana. Kita tidak akan menemukan suara-suara kritis dari masyarakat. Sebab jika
itu dilakukan, maka harus bersiap-siap diteror, atau bahkan dipenjara.
Bupati Pangkep pun tak
ubahnya pemerintahan diktator yang tidak boleh mendapat kritikan dari
masyarakatnya. Sebuah paradoks bagi demokrasi.
Ini mengkhuatirkan. Apalagi Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia
yang sangat strategis dalam menopang jalan dan bekerjanya demokrasi.
Sulit membayangkan sistem demokrasi di
Pangkep bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat,
melontarkan sikap, dan berekspresi atas
berbagai kondisi sosial di masyarakat disana.
Padahal dalam konstitusi, Amandemen ke II, dengan gamblang menjamin
kebebasan berekspresi. Pasal 28E (ayat 2) menyatakan, “setiap orang berhak atas
kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.”
Ayat 3 ditegaskan lagi bahwa,
“setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat.”
Jaminan konstitusional ini
dielaborasi lebih jauh dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dituliskan pada Pasal 23 (ayat 2) UU tersebut, bahwa “setiap orang bebas
mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya,
secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak eletronik
dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa.”
Kebebasan berekspresi juga telah mendapat pengakuan
secara universal. Pengakuan tersebut tertuang dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political
Rights).
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat; hak ini termasuk
kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk
mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide melalui media, tanpa
memandang batas-batas negara”. Sedangkan Pasal 19 (ayat 2) Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merumuskannya sebagai berikut: “setiap
orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk
kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun,
terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau bentuk
cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya”.
Karenanya, ketika Budiman dipenjara setelah
komentarnya difacebook, akal sehat kita sulit menerimanya. Ditambah lagi, setelah
mengetahui kalau Pak Guru Budiman hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Apa yang terjadi pada Guru Budiman, bukan lagi
persoalan domestik di Pangkep. Sebab masalah Budiman, bisa saja menimpa semua
warga negara di Indonesia. Sama seperti kasus Prita Mulyasari dan Ko Seng Seng,
di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kasus yang terjadi di Pangkep, adalah kasus Sulawesi
Selatan, Kasus Indonesia, bahkan dunia. Pangkep kini, menjadi sorotan aktivis
ham dan demokrasi di dunia.
Negara seharusnya melindungi Pak Guru Budiman. Sebab jika
merujuk pada pranata hukum yang berlaku, negara seharusnya bertanggungjawab untuk menjamin dan melindungi
hak-hak sipil dan politik Pak Guru Budiman. Tanggungjawab ini dikenal dengan
istilah “State Responsilibity”.
Negara, termasuk dalam batasan negara Pemerintahan di
Kabupaten Pangkep, yaitu Bupati dan Polisi seharusnya menjaga hak atas kebebasan berbicara (free speech),
berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers (freedom of the press).
Apa yang terjadi di Pangkep justeru sebaliknya, negara
(bupati dan aparatnya) justeru terlibat melakukan kriminalisasi terhadap
kebebasan berekspresi itu sendiri. Bahkan lebih buruk lagi, negara telah
menjadi sebuah tirani baru untuk menekan dan membelenggu kebebasan warganya
sendiri. Di Pangkep, anda tidak boleh bersuara kritis, karena bisa-bisa
dianggap menghina penguasa dan nama baik seorang pejabat dan tokoh.
Hari-hari belakangan ini, negara di Pangkep telah absen
bahkan melakukan pembiaran atas ketidakberdayaan seorang warganya yang
berprofesi guru bernama Budiman.
Apa yang dipertontonkan negara di Pangkep, adalah
sebuah pelanggaran kemanusiaan, yang dengan segala otoritas yang dimilikinya,
telah merampas kebebasan dan hak hidup seorang guru bangsa, yang bermaksud
mengoreksi pemerintahnya sendiri.
Selain itu, diluar konteks Budiman telah melakukan
pelanggaran, ia mesti mendapat perlakuan
adil sebagai warga negara, khususnya terkait hak sipilnya.
Inilah yang sulit dipahami. Semoga kita bisa belajar
dari kasus ini.
(tulisan ini dimuat di harian tribun timur edisi 20 februari 2013 dengan judul: Budiman Vs Bupati Pangkep)
Komentar