KPI

Upaya Komisi Penyiaran Indonesia untuk membatasi siaran langsung dari ruang pengadilan dan DPR, mendapat reaksi yang cukup keras dari berbagai pihak. Dari Kantor Dewan Pers di ibukota Jakarta, Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, bahkan mengecam sikap KPI, sebagai upaya yang bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keterbukaan informasi dan demokrasi serta hukum.

Jika ini benar ada, maka KPI dipastikan melanggar Konsititusi khususnya, Pasal 28 F UUD 45 yang menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi,memperoleh dan menyampaikan informasi dengan berbagai saluran yang tersedia. KPI juga akan berhadap-hadapan dengan UU Pers No 40/tahun 1999, dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

UU Pers No 40/1999 khususnya Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan, "terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran".

Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Pers.

Pasal 6 UU Pers mengamanatkan peran pers, antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.

Pelarangan siaran langsung sidang pengadilan dan sidang wakil rakyat di DPR juga bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi. UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Informasi dalam persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum dikategorikan sebagai informasi publik. Dengan demikian, informasi tersebut bebas disiarkan, baik secara langsung maupun secara tunda


Pelarangan itu sendiri, amat sangat bergantung pada Majelis Hakim, apakah sidangnya tertutup atau terbuka untuk umum.Seperti kasus persidangan anak dan kasus asusila. Pada sidang kesaksian perdana Rani Juliani atas terdakwa Antasai Azhar dan Sidang Mahkamah Konstitusi menjadi contoh paling mutakhir, bagaimana majelis hakim menyatakan sidangnya tertutup atau terbuka untuk umum.

Ihwal pelarangan siaran langsung ini sendiri pertamakali muncul ke publik, saat KPI mengirimkan sinyal akan mengeluarkan kebijakan melarang siaran langsung di DPR. Sebelumnya Komisi I DPR dalam rapat dengar pendapat dengan KPI, Komisi I meminta kepada KPI untuk melarang siaran langsung sidang di DPR.

Sasa Djuarsa di Gedung DPR-RI, (11/11) mengatakan akan menata ulang liputan siaran langsung dari ruang sidang pengadilan.Sasa mengatakan, penataan ulang itu dilakukan karena liputan langsung stasiun televisi akan menimbulkan ekses antara lain akan mempengaruhi opini publik sebelum vonis hakim.

Pelarangan ini pun muncul, setelah melihat jalannya persidangan kasus Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Sidang Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.
Meski KPI, belakangan buru-buru “meralat”, pernyataan mereka,bahwa kebijakan tersebut,masih sebatas wacana, namun wacana paradoks tersebut telah dinilai sebagai upaya menghambat informasi bebas ke publik.

Bahkan jika KPI tetap bersikukuh menerapkan peraturan tersebut, maka KPI secara terang benderang telah melakukan pelanggaran pidana tetap sesuai pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Ketua KPI atau anggotanya yang melarang diancam pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimum Rp. 500 juta.

Memang, berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, KPI
diberi kewenangan untuk membatasi, menyensor, membredel ataupun
melarang program siaran. Tapi ketentuan tersebut hanya berlaku untuk
program siaran selain program jurnalistik. Untuk program siaran
jurnalistik, tetap berlaku UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.

UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 42 menegaskan, wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh sebab itu, untuk perkara pemberitaan, dan aspek-aspek kegiatan jurnalistik siaran langsung tidak layak untuk dilarang oleh siapapun.

Masyarakat Harus Kritis

Kita belum tahu sejauhmana hasil pertemuan antara KPI dan Dewan Pers, yang dijadualkan berlangsung pekan ini, untuk membahas kebijakan paling kontraversi yang dilakukan KPI satu tahun terakhir ini.

Meski demikian, wacana pelarangan siaran langsung oleh KPI ini,patut dikritisi oleh masyarakat. Sebagai warga negara yang berhak mendapatkan informasi secara terbuka, sikap aneh KPI ini jelas-jelas melanggar Public Rigth to Know atau hak publik untuk mengetahui.

Mengapa, pertama, secara universal, tak boleh ada hambatan untuk memperoleh informasi secara bebas dengan alasan apapun, apalagi jika itu menyangkut kepentingan pemberitaan yang mengacu pada azas kepentingan publik.

Informasi untuk kepentingan publik,harus menjadi urutan nomer satu dalam setiap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat,sebagaimana diatur dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia,konsitusi, dan UU Pers.Ingat UU Pers saat ini tidak mengenal penyensoran apalagi pembreidelan.

Kebebasan menyiarkan informasi dan berita menjadi hal yang tidak boleh dilarang oleh lembaga manapun,termasuk KPI. Apalagi jika penyiaran itu dimaksudkan untuk kepentingan publik.Kasus sidang Antasasi Azhar, Sidang Mahkamah Konstitusi tentang rekaman penyadapan, dan sidang komisi III DPR-RI tentang kasus KPK versus Polisi adalah termasuk dalam rana untuk memenuhi hak publik untuk mengetahui.

Oleh sebab itu dalam perkara ini, masyarakat harus dengan sangat tegas menyatakan menolak wacana apalagi jika itu dijadikan sebagai kebijakan institusi KPI.
Kedua, kritik atas kinerja dunia penyiaran, seharusnya tidak harus membumihanguskan prinsip-prinsip kemerdekaan pers itu sendiri. Apa yang dilakukan KPI, janganlah seperti pepatah membakar lumbung padi, hanya untuk membunuh tikus.

Kritik masyarakat kepada industri penyiaran hendaknya disalurkan kepada mekanisme UU Pers, apalagi jika itu terkait pemberitaan. Dalam dunia penyiaran, boleh tidaknya sebuah sebuah pemberitaan disiarkan langsung, termasuk materi siaran tergantung pada kebijakan news room media tv dan radio. Rambu-rambunya jelas, yakni kode etik jurnalistik. Sensor diri di atas landasan KEJ ini harus jadi pedoman setiap penanggungjawab siaran langsung. Jadi kalau ada yang salah dan melanggar kode etik, seharusnya KPI bersama Dewan Pers yang memberikan teguran, pembinaan,atau sanksi. Bukan dengan mengeluarkan kebijakan menghentikan siaran langsung pemberitaan itu sendiri.

Ketiga, karena ini masih menjadi wacana, dan kelak akan dibahas dalam Rapat Kerja Nasional KPI tentang teknis revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Perilaku Penyiaran (P3SPS) yang berisi panduan bagi seluruh media penyiaran, baik radio maupun televisi, soal apa yang boleh maupun tidak boleh diproduksi atau disiarkan,masyarakat Sulsel berharap KPID Sulawesi Selatan menjadi motor penggerak dalam menentang upaya pelarangan langsung tersebut.

Setidaknya memberikan pertimbangan komprehensif, bahwa KPI seharusnya bersikap tegas terhadap program siaran non berita yang tidak mendidik.Bukan malah memberangus kebebasan menyiarkan berita dan kegiatan jurnalistik.

Sebab pada hakekatnya pelarangan itu justeru membungkam kebebasan pers. Dan bagi siapa saja yang memberangus kebebasan pers, dia akan melanggar konstitusi,HAM,dan demokrasi.

Dan ini menjadi peringatan klasik kepada siapa saja, siapa yang berani membungkam kebebasan pers, akan berhadap-hadapan dengan elemen-elemen demokrasi.

makassar,kampus hitam putih
17 november 2009
pukul 13.30 wita

Komentar

Postingan Populer